TEMPO.CO, Jakarta- Emil tampak enjoy dengan posenya. Ia tidak canggung berdiri tegak dengan kaki dilebarkan dan mengangkat dua tangannya di atas kepala. Senyumnya terus mengembang.
Sebenarnya Emil memang sudah tidak asing lagi dengan sorotan media. Selama dua dekade, ia eksis sebagai arsitek setelah lulus dari Master of Urban Design University of California, Berkeley, pada 2001. Karyanya sudah tersebar di berbagai negara, di antaranya Prancis, Uni Emirat Arab, Cina, Vietnam, dan Singapura.
Misalnya saja Marina Bay Waterfront Master Plan di Singapura, atau juga Ras Al Kaimah Waterfront Master Plan di Qatar. Di Indonesia pun banyak jejaknya, seperti Masjid Merapi di Yogyakarta dan Museum Tsunami di Banda Aceh.
Hari itu, Senin 22 Juli 2013 lalu, dia berbicara panjang-lebar dengan kami, Heru Triyono, Gilang Rahadian, Dewi Rina Cahyani, dan fotografer Wisnu Agung Prasetyo dari Tempo. Tak hanya soal programnya sebagai orang nomor satu di Kota Bandung, tapi juga kehidupan pribadi dan perusahaannya yang harus vakum.
Setelah menjabat wali kota, bagaimana nasib perusahaan konsultan arsitektur Anda?
Ini yang membuat saya sedih. Saya akan vakum sejenak. Etiknya kan saya tidak boleh mroyek. Saya sendiri yang melarang Urbane ambil proyek pemerintah di Bandung selama saya menjabat. Takut jadi fitnah.
Kalau proyek swasta?
Sama, tidak juga. Ini sebenarnya merugikan buat kantor saya. Memang, aturan ini tidak tertulis. Tapi saya tidak mau jadi perbincangan di belakang. Rezeki mah Allah yang mengatur.
Apa bagian terbaik menjadi Wali Kota Bandung?
Ke mana-mana ada pengawal "ngintil". Ini sebenarnya juga menyedihkan, dan membuat agak tidak nyaman. Sebab itu, saya selalu bilang ke pengawal agar jaga jarak 10 meter. Risi. (Baca juga: Bandung Meniru Shanghai)