TEMPO.CO, Jakarta- Pelaku pasar kembali memburu dolar menyusul kian dekatnya rencana pelambatan stimulus bank sentral Amerika Serikat (The Fed). Dalam transaksi pasar uang Jumat, 16 Agustus 2013, rupiah diperkirakan amblas ke level 10.500 per dolar Amerika.
Sehari sebelumnya, rupiah melemah 112 poin (1,05 persen) hingga mencapai 10.409 per dolar Amerika Serikat. Penurunan tersebut merupakan pencapaian terburuk sejak Juli 2009.
Menurut analis pasar uang, Albertus Christian, menurunnya cadangan devisa menjadi US$ 92,1 miliar pada Juli 2103 menjadi faktor utama pelemahan rupiah. “Selain mengurangi harapan intervensi Bank Indonesia, menyusutnya cadangan devisa semakin menegaskan pelambatan ekonomi domestik,” kata dia.
Tekanan dari dalam negeri tersebut diperburuk dengan sentimen negatif global, di mana pasar masih dihantui oleh rencana pelambatan (tapering) stimulus moneter The Fed. Sinyal tapering semakin nyata setelah makin banyaknya pejabat bank federal yang mendukung pengurangan stimulus.
Membaiknya data ekonomi Amerika Serikat, terutama dari menurunnya pengangguran dan naiknya penjualan retail, ditambah dengan positifnya data pertumbuhan ekonomi Jerman dan Prancis, menjadi alasan bagi The Fed untuk mereduksi jumlah stimulus moneter.
Menurut Albertus, saat ini perdebatan mulai mengerucut pada berapa besar dana stimulus yang akan dipotong. “Para analis menduga bank sentral akan memotong jumlah pembelian obligasi dari US$ 85 miliar ke US$ 75 miliar per bulan.”
Keputusan Bank Indonesia untuk mempertahankan suku bunga acuan di level 6,5 persen cukup direspons positif oleh pasar. Meski tidak berdampak positif bagi rupiah, hal ini menunjukkan BI ingin mengurangi risiko investasi asing di dalam negeri yang sedang tertekan oleh lonjakan inflasi.
Menurut Albertus, tren pergerakan rupiah ke depan masih melemah karena melambatnya pertumbuhan ekonomi serta neraca perdagangan diperkirakan masih defisit. Melonjaknya harga minyak akibat konflik di Mesir semakin membebani neraca impor migas Indonesia.
M. AZHAR