TEMPO.CO, Yogyakarta -Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyebut vonis yang sudah dijatuhkan kepada terdakwa penyerangan LP Cebongan bukan lah klimaks perkara. Karena dalam proses peradilannya tidak mengungkap latar belakang penyerangan yang mmengakibatkan matinya empat tahanan titipan Polda Daerah Istimewa Yogyakarta, Sabu, 23 Maret 2013 yang lalu.
"Klimaksnya bukan vonis Ucok dan kawan-kawan, tetapi terungkapnya latar belakang sebelum penyerangan," kata Inspektur Jenderal (purn) Teguh Soedarsono, anggota LPSK, Jumat malam (6/9).
Di balik pembunuhan Sersan Kepala Heru Santoso anggota Kopassus yang diperbantukan di Detasemen Intelejen Kodam IV/Diponegoro diduga ada bisnis kartel narkoba. Kematian Santoso dan penganiayaan Sersan Satu Sriyono, mereka berdua adalah sahabat Sersan Dua Ucok Tigor Simbolon, eksekutor Cebongan, menjadi alasan Ucok untuk menyerang LP Cebongan.
Jadi, vonis 12 terdakwa bukan klimaks dari kasus perkara sesungguhnya. Ucok dan kawan-kawan itu juga disebut Teguh hanyalah pion atau operator lapangan (eksekutor). Karena di balik peristiwa Hugo's Cafe ada masalah besar soal kartel narkoba. Hal inilah yang seharusnya juga diungkap.
"Dalam sidang juga tidak disebut trigger kasus Hugo's, mengapa Santoso berada di tempat gituan. Cafe adalah tempat paling banyak beredar narkotika," kata dia.
Daerah Istimewa Yogyakarta, kata Teguh merupakan prropinsi yang sangat potensial dan pasar besar peredaran narkoba. Bahkan termasuk propinsi yang sangat besar peredaran narkobanya. Cafe dan tempat hiburan merupakan tempat yang nyaman dalam peredaran narkoba.
Ia menambahkan, menurut informasi dari Badan Narkotika Nasional (BNN), peredaran narkotika banyak terjadi di tempat hiburan atau cafe. Di balik peredaran itu ada kekuatan-kekuatan yang ada. Tanpa menyebut kekuatan mana, biasanya justru tempat-tempat hiburan disokong atau dibekingi oleh aparat keamanan.
"Di cafe itu sering ada perang kesadisan, ini kesadisan dibalas kesadisan (kasus Cebongan)," kata Teguh. "Peradilan kemarin itu hanya fokus bagaimana mengadili Ucok cs."
Maneger Nasution, anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyatakan, meskipun banyak aksi demonstrasi tetapi korban secara fisik tidak ada saat proses peradilan. Secara khusus pihaknya memberikan apresiasi ke masyarakat Yogyakarta yang telah menyampaikan aspirasi.
"Proses peradilan militer menjawab keraguan publik, peradilan militer yang dianggap tertutup bisa diikuti oleh masyarakat secara terbuka," dia.
Ada sejumlah catatan kritis yang penting di antaranya, dalam proses hukum hanya ada 12 terdakwa, padahal dalam penelusuran dan investigasi yang dilakukan Komnas HAM ada dua nama lain yang tidak pernah diproses hukum.
"Yang dua ini akan kami ungkapkan," kata dia.
Ia menyatakan, Komnas HAM itu cinta TNI, cinta Kopassus yang tidak ingin memiliki sejarah hitam.
MUH SYAIFULLAH
Berita terpopuler: