TEMPO.CO, Jakarta - Rupiah terperosok makin dalam. Kemarin, rupiah melemah tajam 255 poin (2,22 persen) ke level 11.765 per dolar Amerika. Rupiah menyusul mata uang Asia lainnya yang turut melemah seiring penguatan indeks dolar. (Baca: Posisi Rupiah Masih Rawan)
Dilihat sepintas, pelemahan rupiah memang memberi nilai positif bagi kegiatan ekspor. Biaya produksi di dalam negeri yang menggunakan rupiah menjadi tampak lebih murah. Sementara penerimaan pembayaran dari ekspor yang menggunakan dolar Amerika Serikat nilainya jadi lebih besar. Namun, kenyataannya tak seindah itu.
Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi mengingatkan bahwa banyak produk ekspor kita yang menggunakan bahan baku impor. Hal itu tampak dari komposisi impor Indonesia yang lebih dari 90 persennya didominasi oleh bahan baku atau penolong dan barang modal.
Hingga September tahun ini, misalnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat total impor sebesar US$ 140,3 miliar. Dari jumlah itu, hanya US$ 9,79 miliar atau 6,98 persen di antaranya yang berupa produk konsumsi. Sisanya, US$ 106,76 miliar berupa bahan baku atau penolong dan US$ 23,74 miliar berupa barang modal. "Komponen impor ini membuat biaya produksi naik," kata Bayu, Rabu, 27 November 2013
Bahan baku impor dapat ditemui di hampir semua sektor industri, dari mulai makanan/minuman, hingga baja. Selain itu, untuk kelompok barang modal, hingga September tahun ini impor mesin dan peralatan mekanik sudah mencapai US$ 20,09 miliar atau 18,82 persen dari total ekspor. Begitu juga impor mesin dan peralatan listrik mencapai US$ 14 miliar atau 13,13 persen. Padahal, mesin-mesin mekanik dan listrik ini digunakan hampir merata pada seluruh sektor industri. Bayu menyatakan, "Kemendag tidak melihat pelemahan rupiah sebagai strategi meningkatan daya saing."
PINGIT ARIA
Terpopuler
Ruhut Tantang Jokowi Berdebat
Ditantang Ruhut, Jokowi: Kalau Cebur Kali, Ayo
Bos PT Wika Dimakamkan di Pekuburan Rp 2,6 M
Ditolak Nur Mahmudi, Ini Kata Jokowi