TEMPO.CO, Semarang - Para penggiat penganut aliran kepercayaan di Jawa Tengah menolak mencantumkan pilihan agama dalam kartu tanda penduduk sesuai dengan Undang-undang Administrasi Kependudukan yang baru disahkan DPR, Selasa, 26 November 2013.
"Kebebasan memeluk agama dan aliran kepercayaan itu dijamin undang-undang dasar tapi ini kok ada undang-undang malah membatasi aliran kepercayaan," kata Divisi Hukum dan HAM Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK) Jawa Tengah Tito Hersanto kepada Tempo, Rabu, 27 November 2013.
Baca Juga:
Tito menilai secara materiil Undang-undang Administrasi Kependudukan yang mewajibkan setiap warga mencantumkan salah satu dari lima agama yang diakui pemerintah bertentangan dengan konstitusi dasar, terutama pasal 28 E UUD 1945.
Tito menyatakan karena penganut aliran kepercayaan juga sama-sama warga negara Indonesia, maka seharusnya juga dibebaskan dalam memilih agama dan aliran kepercayaan.
Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK) Jawa Tengah sendiri menyatakan tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan revisi Undang-undang Administrasi Kependudukan.
Rancangan Undang-undang Administrasi Kependudukan akhirnya disahkan menjadi Undang-undang Administrasi Kependudukan setelah melalui rapat paripurna DPR, Selasa, 26 November 2013. Pada Pasal 64 ayat (1) UU Administrasi Kependudukan, setiap warga negara harus memilih satu di antara lima agama yang diakui oleh pemerintah sebagai identitas dirinya.
Dalam revisi terhadap Undang-undang Administrasi Kependudukan itu, sebelumnya sempat diusulkan agar warga dibebaskan mencantumkan agama atau aliran kepercayaan mereka. Namun, setelah melalui pembahasan antara pemerintah dengan DPR, warga tetap diwajibkan memilih satu di antara lima agama dalam KTP-nya.
Direktur Lembaga Studi Sosial dan Agama (Elsa) Jawa Tengah Tedi Kholiluddin, juga menolak kewajiban mencantumkan salah satu agama untuk penganut aliran kepercayaan. "Karena mereka bukan meyakini salah satu lima agama maka seharusnya dalam pencantuman identitas memakai status kepercayaan," kata Tedi.
Tedi menilai meski saat ini adalah era reformasi dan demokrasi tapi pemerintah masih membelenggu para penganut aliran kepercayaan. Ada kebebasan tapi pemerintah masih terus melakukan pengawasan. "Ibaratnya, penganut aliran kepercayaan dikeluarkan dari penjara tapi lehernya masih dikalungi celurit," kata Tedi.
Selain soal identitas, penganut aliran kepercayaan di Jawa Tengah juga dihadapkan pada masalah pendidikan agama dan sulitnya mendirikan tempat ibadah. Tedi menyatakan banyak sekali anak-anak penganut aliran kepercayaan yang masih dipaksa belajar salah satu agama di lembaga-lembaga pendidikan formal. Selain itu, penganut kepercayaan juga masih banyak yang kesulitan mendapatkan izin pendirian rumah ibadah. Misalnya penganut Sapto Darmo di Rembang.
ROFIUDDIN
Berita terkait:
Gamawan: Pemeluk Kepercayaan Kan Tetap Beragama
Jakatarub Kecam Intimidasi Peringatan Asyura
Survei: Anak Muda Inggris Tak Percaya Umat Muslim
Siaran Dakwah Lewat Televisi Dinilai Dangkal