TEMPO.CO, Surabaya - Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) belum menemukan bukti adanya praktek monopoli yang dilakukan Pertamina terkait dengan kenaikan harga elpiji kemasan 12 kilogram pada awal Januari 2014. Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Hukum KPPU Ahmad Junaidi mengatakan pihaknya sudah memanggil Pertamina untuk dimintai klarifikasi dan diajak berdiskusi soal keputusan menaikkan harga elpiji. "Berdasarkan hasil klarifikasi, belum ada pelanggaran karena Pertamina melandaskan keputusan pada Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral," kata Junaidi, kepada Tempo, Senin, 27 Januari 2014.
Dalam klarifikasinya, Pertamina menyatakan kenaikan harga untuk elpiji non-subsidi tidak diatur oleh pemerintah, melainkan diserahkan kepada Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 Tahun 2009. Di sana, dijelaskan bahwa harga elpiji bersubsidi ditentukan pemerintah. Namun harga elpiji umum atau non-subsidi ditentukan sesuai dengan pasar atau korporasi serta daya beli masyarakat dan kecukupan suplai.
Ihwal penentuan harga elpiji berdasarkan Peraturan Menteri ESDM dan rekomendasi Badan Pemeriksaan Keuangan, yang menyatakan Pertamina merugi Rp 22 triliun, Junaidi menyatakan hasil klarifikasi tersebut akan menjadi masukan bagi KPPU untuk ditindaklanjuti.
Tindak lanjut bisa berkaitan dengan perilaku usaha, yaitu adanya praktek monopoli atau terkait pelaksanaan kebijakan. Jika ditemukan bukti adanya praktek monopoli dalam keputusan Pertamina, maka proses penyelidikan harus dilakukan. "Tapi soal ini harus ada dugaan pelanggaran dan bukti awal dulu," tutur Junaidi.
Pertamina terancam dikenai denda sebesar Rp 1-25 miliar bila terbukti ada monopoli dalam bisnis elpiji 12 kilogram yang mereka jalankan. Namun, bila keputusan Pertamina hanya diambil akibat lemahnya kebijakan, KPPU akan meminta saran dan pertimbangan kepada pemerintah. Tim KPPU akan menganalisis dan memutuskan hal itu dalam rapat komisi.
Koordinator Investigasi dan Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Uchok Sky Khadafi, mengatakan tindakan Pertamina menjual elpiji dari kilang di Tanah Air dengan harga internasional merupakan bentuk penipuan terhadap publik. Langkah Pertamina tersebut, kata dia, bisa dikategorikan sebagai markup. "Itu juga yang seharusnya diaudit oleh BPK. Sebab, laporan keuangan Pertamina selalu tidak transparan," kata Uchok.
Pemerhati perminyakan, Kurtubi, mengatakan seharusnya BPK cermat dalam mengeluarkan opini tentang kerugian Pertamina dalam bisnis elpiji 12 kilogram. Rekomendasi yang dikeluarkan BPK seharusnya bukan meminta Pertamina menaikkan harga jual, melainkan melakukan efisiensi pengadaan elpiji 12 kilogram.
Kurtubi menilai sampai saat ini pengadaan elpiji Pertamina belum efisien. Hal ini dapat dilihat dari kebiasaan Pertamina mengimpor elpiji melalui broker. Padahal, Pertamina dapat membeli elpiji dari produsennya secara langsung dengan kontrak jangka panjang. Langkah tersebut dapat menurunkan biaya pokok pengadaan elpiji, yang akhirnnya menurunkan nilai kerugian Pertamina.
Selain karena membeli dari broker, Kurtubi menduga harga jual elpiji 12 kilogram melambung lantaran acuan harga yang dipakai Pertamina menggunakan harga crude price (CP) Aramco. "Jika Pertamina tidak menggunakan harga internasional, pasti harga jualnya jauh lebih murah. Bisa lebih murah 10 persen," kata dia.
AGITA SUKMA LISTYANTI
Berita Terpopuler:
Cuit Anas Urbaningrum: Demokrat Ganti Ketua Umum
Irfan Bachdim Resmi Gabung Klub Jepang
Survei: PDIP Tak Usung Jokowi, Prabowo Menang
Arthur Irawan Bergabung ke Malaga