TEMPO.CO, Yogyakarta - Partisipasi masyarakat DIY untuk memilih calon anggota Dewan Perwakilan Daerah masih semu. Lantaran mayoritas masyarakat yang memberikan hak suaranya ternyata tidak paham tentang tugas, fungsi, dan keberadaan DPD itu sendiri.
Hal tersebut terungkap dalam riset kebijakan yang dilakukan Institute for Research and Empowerment (IRE) pada 2013 tentang "Memperdalam Demokrasi di Indonesia: Mempromosikan Representasi Substantif sebagai Model Relasi DPD dengan Konstituen".
“Partisipasi masyarakat (memilih calon anggota DPD) semu. Mereka sekadar memilih surat suara yang disodorkan,” kata peneliti IRE, Titok Haryanto, saat dihubungi Tempo, Kamis, 27 Februari 2014.
Titok memaparkan bahwa masyarakat sekadar menggunakan hak suaranya. Dalam surat suara, selain ada calon anggota legislatif, juga calon anggota DPD. Mereka memilih calon anggota DPD semata berdasarkan para calon yang merupakan public figure di DIY atau karena hubungan kekerabatan dengan calon.
Semisal, pemilih memilih Gusti Kanjeng Ratu Hemas karena dia adalah permaisuri Raja Keraton Yogyakarta. Pemilih memilih Hafidz Asrom karena dia adalah tokoh Nahdlatul Ulama di DIY. “Jadi pemilih tidak tahu kalau Hemas dan Hafidzh itu calon anggota DPD,” kata Titok.
Ketidakpahaman masyarakat DIY terhadap DPD, menurut Titok, juga tak lepas dari tidak adanya sosialisasi dari DPD Perwakilan DIY tentang peran dan fungsinya kepada masyarakat. Mengingat DPD merupakan lembaga baru yang mulai ikut serta dalam Pemilihan Umum 2004. “Padahal kan DIY punya kantor sekretariat DPD. Perannya tidak optimal,” kata Titok.
Anggota Komisi Hukum DPD dari DIY, Hafidz Asrom, menilai kurangnya pemahaman masyarakat DIY mengenai DPD karena usia lembaga tersebut yang masih belia, yaitu delapan tahun. Berbeda apabila dibandingkan dengan DPR yang usia kelembagaannya sudah 68 tahun.
“Ibaratnya, DPD itu masih sekolah dasar, kalau DPR sudah manula. Sebentar lagi orang akan melupakan DPR yang banyak kerusakannya itu,” kata Hafidz saat dihubungi Tempo.
Namun dia membantah apabila pemilih tidak mengetahui dirinya adalah calon anggota DPD. Lantaran sosialisasi mengenai DPD kepada masyarakat juga dilakukan oleh konstituen yang mengusung calonnya. Seperti dirinya oleh NU, Afnan Hadikusumo oleh Muhammadiyah, Cholid Mahmud oleh Partai Keadilan Sejahtera, dan Hemas oleh keraton.
Dia menjelaskan bahwa penelitian tersebut hanya dilakukan di dua provinsi, yaitu DIY dan Kalimantan Timur. Kedua provinsi dipilih berkaitan dengan peran DPD di kedua wilayah tersebut. DPD mempunyai peran lebih dalam mendorong pengesahan UU Keistimewaan DIY. DPD juga mempunyai peran dalam pengajuan judicial review (uji material) atas UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Sedangkan Kalimantan Timur merupakan provinsi yang mengajukan gugatan uji material ke Mahkamah Agung atas undang-undang tersebut karena perlakuan pembagian keuangan yang tidak adil. “Kalimantan Timur kan provinsi yang kaya,” kata Titok.
Manajer proyek penelitian, Abdur Rozaki, melalui rilisnya menambahkan soal temuan penelitian tersebut. Pada Pemilu 2009, ada 92 persen responden di DIY yang menggunakan hak pilihnya untuk memilih calon anggota DPD, dan di Kalimantan Timur ada 93,3 persen. Meski demikian, hanya 24 persen responden di DIY yang mengaku tahu tentang lembaga DPD, dan di Kalimantan Timur sebesar 28,5 persen responden. Sedangkan responden yang tahu tentang lembaga DPD hanya 15 persen dari total responden, dan ada 11,8 persen dari total responden untuk Kalimantan Timur.
Survei dilakukan pada Juni-Agustus 2013 dengan cara wawancara kuesioner secara tatap muka yang melibatkan 400 responden tiap provinsi. Meliputi responden di wilayah perkotaan, pedesaan, dan perbatasan.
PITO AGUSTIN RUDIANA