TEMPO.CO, Jakarta - Tiga fraksi di Komisi Agama, Dewan Perwakilan Rakyat, mengusulkan agar Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal mengatur biaya yang dikeluarkan pengusaha untuk mendapatkan pemasangan label halal.
"Tarif itu akan masuk ke penerimaan negara bukan pajak (PNBP)," kata Hasrul Azwar, Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, di Kompleks Parlemen Senayan, seusai rapat internal Komisi yang berlangsung tertutup, Kamis, 27 Februari 2014.
Menurut Hasrul, pengaturan tarif sekaligus menjadi bentuk kontrol terhadap biaya tak resmi yang dikeluarkan pengusaha untuk mendapatkan label halal dari Majelis Ulama Indonesia. Apalagi, selama ini organisasi Islam tersebut tidak pernah melaporkan pendapatan yang diperolehnya dalam menerbitkan sertifikasi halal sebuah produk kepada pemerintah maupun DPR. "Semua masuk ke kantong MUI," ujar Hasrul.
Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal sudah hampir dua periode bergulir di Komisi Agama. Rancangan ini tak kunjung disahkan lantaran MUI berkukuh memiliki kewenangan absolut terhadap sertifikasi maupun fatwa produk halal. Di sisi lain, pemerintah juga menghendaki agar Kementerian Agama mengelola sertifikasi produk halal tersebut.
Majalah Tempo pekan ini menuliskan tentang dugaaan permainan tarif produk halal tersebut. MUI, yang selama ini menanganinya, diduga mempermainkan tarif dan menerima suap dari pengusaha. Walhasil, diduga ada sejumlah produk yang disinyalir haram disulap menjadi halal.
Bila rancangan itu sudah disahkan, kata Hasrul, maka penerimaan biaya-biaya pemasangan label produk tidak boleh diterima orang per orang, "Kalau terjadi demikian bisa dikategorikan gratifikasi sampai suap," ujarnya.
Hal senada diungkapkan Sayed Fuad Zakaria, anggota Komisi Agama dari Fraksi Golkar. Menurut dia, pemasangan tarif perlu diatur dalam RUU tersebut agar tidak terjadi pemberian-pemberian di luar jalur formal. Adapun R. Adang Ruchiatna Puradiredja, anggota Komisi Agama dari Fraksi PDI Perjuangan, menyatakan pemasangan tarif sekaligus menutupi biaya yang dikeluarkan pemerintah dalam mengeluarkan label halal.
"Penelitian label halal sebuah produk di laboratorium tentu memiliki biaya," kata Sayed Fuad Zakaria.
Hasrul mengatakan pengaturan tarif hanya akan disinggung dalam RUU tersebut. Adapun jumlah tarif akan diatur secara terperinci dalam peraturan pemerintah yang membahas teknis RUU tersebut.
Meski demikian, ketiga fraksi tersebut tidak setuju bila pengusaha diwajibkan memasang label halal pada produknya. Sayed Fuad mengatakan fraksinya mengusulkan agar pemasangan label halal bersifat sukarela selama lima tahun. "Berikutnya baru diwajibkan memasang label halal itu," ujarnya, sembari menyatakan partainya juga mengusulkan pengusaha kecil tidak dikenai tarif label halal.
R. Adang menyatakan partainya sepakat pemasangan label halal secara sukarela. Hal itu dilandasi kekhawatiran bahwa kebijakan tersebut bakal memberatkan pengusaha sehingga malah tidak bisa berjalan sesuai aturan. "Kalau para pengusaha sudah tahu manfaat pemasangan label itu, mereka akan datang sendiri," katanya.
TRI SUHARMAN