TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta, Arief Rachman, mengatakan banyaknya kekerasan seksual terhadap anak di lingkungan sekolah merupakan dampak dari kurikulum pendidikan Indonesia. Menurut dia, materi pendidikan yang diajarkan di sekolah lebih ditekankan pada pendidikan otak, bukan watak siswa.
Jadi kekerasan seksual itu terjadi karena minimnya pendidikan watak,” ujarnya saat dihubungi, Sabtu, 10 Mei 2014. (Baca: Kasus Pencabulan, Ini Imbauan KPAI buat Orang Tua)
Arief mengatakan kurikulum yang diterapkan di Indonesia selama ini selalu mengedepankan aspek meraih nilai tinggi. Dengan kurikulum itu, tiap siswa disebutnya dituntut untuk selalu memiliki nilai yang baik. Selain itu, mereka kerap dipacu untuk selalu hidup dalam lingkungan kompetisi agar selalu menjadi peraih nilai terbaik ketimbang temannya.
Namun tuntutan itu tidak diimbangi dengan pendidikan watak dan perilaku mengenai cara untuk mendapatkannya. Tuntutan agar berprestasi tinggi membuat tekanan yang muncul dalam diri siswa menjadi tinggi. Hal itu juga disebut Arief membuat siswa lebih rentan terhadap aksi kekerasan atau pelecehan seksual di sekolah.
“Akibatnya, terutama yang masih anak-anak, jadi mudah menerima iming-iming tertentu,” katanya.
Sebelumnya Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) mencatat sebanyak 342 kasus kekerasan pada anak terjadi di Jakarta selama Januari-April 2014. Sebanyak 52 persen atau sekitar 175 kasus merupakan kejahatan seksual. Sedangkan sepanjang 2013 tercatat ada 666 kasus kekerasan anak terjadi di Jakarta, dengan 68 persen merupakan kekerasan seksual. (Baca: Begini Aksi Pencabulan Puluhan Pelajar Surabaya)
DIMAS SIREGAR
Berita Terpopuler:
Ini Dia Klub Baru Ryan Giggs
9 Jam Bersaksi Kasus Century, Boediono: Saya Lega
Sampar Hitam Membuat Manusia Kuat
Begini Gaya Kontroversial Olga Syahputra