TEMPO.CO , Purwokerto: Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Mirza Adityaswara mengatakan, batik motif Banyumasan bisa menjadi produk andalan daerah tersebut. Dengan motif khas pedesaan, batik Banyumasan dinilai bisa bersanding dengan batik dari daerah lain.
“Kami dari Bank Indonesia mendorong agar pembatik di Banyumas bisa meningkatkan produksinya,” kata Mirza usai meresmikan galeri batik Pring Mas, Desa Papringan Kecamatan Banyumas, Kabupaten Banyumas, Sabtu, 24 Mei 2014.
Baca Juga:
Galeri yang didanai oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia Purwokerto tersebut kini menampung karya batik dari sekitar 30 pembatik anggota kelompok. Tercatat di desa itu ada sekitar 300 pembatik. (Baca: Politik dan Ekonomi Stabil, Bisnis Hotel Moncer)
Mirza optimistis batik Indonesia masih cukup mempunyai daya saing di pasar internasional. Oleh karena itu, jika produksinya terus meningkat, batik Banyumasan bisa menjadi produk andalan untuk dijual ke wisatawan.
Selain batik, Desa Papringan juga bisa dikembangkan potensi wisatanya karena berada di samping Sungai Serayu. Mirza pun meminta pengusaha mikro kecil dan menengah bisa mengakses permodalan dari perbankan.
Saat ini, kata dia, perbankan di Indonesia sangat agresif memberikan kredit mikro ke kalangan pengusaha kecil. Beberapa bank nasional baik milik pemerintah, swasta, maupun asing telah masuk ke kredit mikro termasuk mencari sentra-sentra produksi seperti Desa Papringan.
“Jadi, menurut saya, sentra-sentra produksi seperti ini pasti bank mau membiayai. Pokoknya bagi bank memberikan kredit, uangnya bisa kembali dan kemudian kreditnya bisa lebih besar lagi," katanya. (Baca: Keindahan Gerwasi, Batik Gresik)
Ketua Kelompok Pembatik Pring Mas, Siarmi mengatakan, pemantik di daerah itu merupakan pekerjaan turun temurun. “Kami ingin mengajarkan kepada yang muda-muda agar kembali menggemari batik,” katanya.
Ia mengatakan, batik khas Papringan dikenal dengan motif yang mengambil dari alam seperti pohon bambu. Warna dasar batik yang khas berwarna hitam. Saat ini, kata dia, tercatat ada sekitar 20-an motif batik yang dibuat oleh leluhurnya.
Sawinem, 70 tahun, salah satu pembatik di Desa Papringan yang sudah membatik selama 50 tahun mengatakan, dulunya dalam sehari ia hanya mendapat upah sekitar Rp 8.000 per kain batik. “Kain sudah dikasih oleh pemilik toko, kami tinggal mengerjakan.”
ARIS ANDRIANTO
Berita terpopuler:
BBM Subsidi di Timor Leste Laku Rp 10-15 Ribu
Selasa-Jumat, Hari 'Bebas Sapi' di Perbatasan
Bulan Depan, AirAsia Tutup Empat Rute Penerbangan