TEMPO.CO , Jakarta: Praktik penyalahgunaan kuota haji sudah berlangsung lama. Setiap tahun kuota itu dijadikan bancakan (bagi-bagi) pejabat negara atau pimpinan organisasi kemasyarakatan dan jumlahnya mencapai ratusan. "Itu bukan cerita baru," ujar Inspektur Jenderal Kementerian Agama, Muhammad Jasin, di Jakarta, Rabu, 28 Mei 2014.
Jasin menjelaskan, penyalahgunaan kuota haji dilakukan dengan mengirimkan surat permohonan dari pejabat tertentu. Jatah yang diminta mencapai 50 kursi, dan bahkan pernah hingga 600 kursi. "Kadang ada ormas yang ngaku-ngaku sudah mendapat persetujuan dari menteri," ungkap Jasin.
Menurut Jasin, celah itu terbuka lantaran alokasi kuota haji tidak semuanya bisa digunakan masyarakat. "Ada (calon jamaah haji) yang karena meninggal atau tidak mampu melunasi (ongkos naik haji)," ujarnya. Sisa kuota akan diprioritaskan bagi calon jamaah yang lanjut usia atau pasangan suami-istri yang berbeda tahun keberangkatannya. "Sisanya ditentukan oleh menteri," katanya.
Biasanya, kata Jasin, penggunaan sisa kuota itu menjadi masalah lantaran tidak diperuntukkan bagi jamaah yang masuk daftar tunggu. Yang terjadi kemudian, kuota itu digunakan untuk melayani surat permohonan penjatahan dari para pejabat atau pimpinan ormas. "Karena itu kami mengimbau agar tidak ada lagi surat permohonan seperti itu. Karena ini kan merugikan jamaah," katanya.
Jasin enggan menyebutkan siapa saja pejabat yang pernah mengajukan permohonan tersebut. Yang jelas, kata dia, data itu kini sudah dibawa ke meja Komisi Pemberantasan Korupsi setelah penggeledahan kantor Direktorat Pelayanan Haji dan Umroh beberapa waktu lalu. "Ini momentum perubahan. Saya kira KPK perlu membuat imbauan," ujarnya. (Baca juga: KPK Kritik Aturan Penyelenggaraan Ibadah Haji)
Baca Juga:
Kasus penyalahgunaan kuota haji mulai menjadi sorotan setelah KPK menetapkan status tersangka Menteri Agama, Suryadharma Ali. Ia diduga menyalahgunakan penggunaan kuota haji dan terlibat kasus pengadaan katering, pemondokan, dan transportasi haji. Kasus yang terjadi pada periode 2012-2013 itu diduga merugikan keuangan negara Rp 1 triliun.
RIKY FERDIANTO