TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemilihan Umum meminta pendapat kepada berbagai ahli hukum, politik, dan penggiat pemilu terkait dengan ketentuan syarat menang pemilihan presiden yang berpotensi multitafsir.
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Syamsuddin Haris menyarankan KPU agar mengajukan penafsiran ke Mahkamah Konstitusi terkait dengan Pasal 6A ayat (3) dan (4) serta UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden untuk mengantisipasi adanya protes dari para kandidat presiden-wakil presiden, yakni Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
"Ada yang namanya fatwa MK di luar judicial review. Bagaimanapun penafsiran ini wilayahnya MK," kata Syamsuddin saat konsultasi tafsir UUD 1945 dan Undang-Undang Pemilu terkait dengan presidential threshold di Hotel Oria, Jakarta Pusat, Rabu, 11 Juni 2014.
Pada Pasal 6A ayat (3) dan (4) UUD 1945 mensyaratkan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mendapatkan suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam pemilu dengan sedikitnya 20 persen di setiap provinsi yang tersebar di setengah jumlah provinsi di Indonesia sebagai pemenang.
Bila tak memenuhi syarat, pasangan yang mendapat suara terbanyak pertama dan kedua dipilih kembali oleh rakyat. Masalahnya, saat ini hanya ada dua pasangan calon presiden dan wakil presiden, sehingga apakah perlu putaran kedua bila pada putaran pertama pasangan Prabowo-Hatta dan Jokowi-Kalla tak memenuhi ketentuan itu.
Menurut Syamsuddin, Pasal 6A ayat (3) dan (4) UUD 1945 tidak dalam konteks pemilihan ulang bila hanya ada dua pasangan calon presiden. "Kalau ada putaran kedua untuk pasangan yang sama, menjadi tidak lucu," ujarnya.
Syamsuddin mengatakan tak ada cara lain yang bisa ditempuh KPU. Sebab, tidak mungkin KPU mengajukan pembuatan undang-undang baru ke DPR lantaran waktu pemilihan presiden sudah dekat, yakni 9 Juli 2014. Permintaan membuat perpu ke presiden juga bukan jalan yang mudah. Yang terpenting, menurut Syamsuddin, Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 dipenuhi. "Dan kemungkinan dipenuhinya dalam pilpres kita sangat tinggi. Kalaupun tidak dipenuhi, kembalikan itu ke MK," ujarnya.
Guru besar ilmu politik Universitas Airlangga, Ramlan Surbakti, juga menyarankan KPU untuk meminta bantuan penafsiran ke MK. "Bagaimanapun keputusan KPK lebih tinggi konstitusionalitasnya," ujar mantan komisioner KPU itu.
LINDA TRIANITA