TEMPO.CO, Jakarta -- Tumbangnya maskapai penerbangan Tigerair Mandala menambah kelam industri penerbangan di Indonesia. Sebab, sebelum Tiger, sudah ada dua maskapai yang tutup dalam waktu berdekatan, yakni Merpati Nusantara Airlines dan Batavia Air.
Batavia Air mengumumkan penghentian kegiatan operasi pada Januari 2013, kemudian Merpati pada 31 Januari 2014 dan terakhir Tigerair mulai 1 Juli 2014. Belum lagi kalau diurut ke belakang dengan menambahkan nama Star Air, Jatayu, dan Bouraq.
Sedangkan perusahaan yang masih bertahan, sebagian membukukan rugi. Sepanjang kuartal I 2014, PT Garuda Indonesia Tbk melaporkan rugi bersih sebesar US$ 164 juta. Indonesia AirAsia merugi Rp 390,4 miliar, berbanding terbalik dengan keuntungan Rp 42 miliar yang didapat pada periode yang sama tahun 2013.
Menurut praktisi yang juga pengamat penerbangan, Gerry Soejatman, maskapai penerbangan bangkrut karena kalah dalam kompetisi dan salah urus. "Ini bisnis enggak gampang. Satu kesalahan akan membuat banyak biaya, " kata Gerry saat dihubungi Tempo, Sabtu, 21 Juni 2014.
Sebagai contoh, kata Gerry, Batavia Air dan Merpati yang biaya operasionalnya tak terkendali. Mandala, juga kata Gerry, yang mengusung penerbangan murah pun mengalami hal serupa karena pendapatan mereka tak sepadan dengan biaya operasional.
"Tiger Airways (operator baru Mandala) kan enggak ngerti pasar Indonesia," kata Gerry. (Baca juga: Call Center Mandala Diserbu Calon Penumpang)
Menurut Gerry, Tiger menyamakan kondisi pasar di Singapura dengan Indonesia. Di Singapura, kata Gerry, penerbangan malam sangat diminati. Namun, hal itu berbeda dengan Indonesia yang tak semua penerbangannya 24 jam.
"Kompetisi sudah banyak malah ambil jadwal malam," kata Gerry.
Namun, kata Gerry, pemerintah selaku regulator penerbangan juga berperan membuat maskapai-maskapai tersebut bangkrut. Pemerintah tak mengizinkan maskapai menaikkan harga tiket, sedangkan biaya opreasional membengkak. Mulai dari kebandaraan, kenaikan harga Avtur, dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.
Daya beli masyarakat juga menurun. Setiap 10 persen kenaikan dolar AS terhadap rupiah, kata Gerry, akan langsung menambah 7 persen biaya opreasional maskapai. "Ibaratnya airline sudah digebukin, makannya dipangkas pula," kata Gerry. (Lihat pula: Tiger Air Siap Bantu Pengembalian Tiket Mandala)
KHAIRUL ANAM
Berita utama
Intuisi Indigo Ungkap Kelemahan Prabowo. Apa itu?
Ulang Tahun, Jokowi Kebanjiran Ucapan di Twitter
Lima Satuan Kerja yang Bermasalah di DKI