TEMPO.CO, Jakarta - Pakar riset dan fisikawan Indonesia, Yohanes Surya, mengatakan sama sekali tak pernah memikirkan bisa masuk bursa menteri atau bahkan menjadi Menteri Riset dan Teknologi.
Yohanes lebih memilih ditempatkan sebagai pemberi masukan pada presiden atau menteri-menteri tentang riset yang perlu dikembangkan di Tanah Air. "Saya ini bukan birokrat. Kalau masuk dalam sistem birokrasi, apa saya mampu?" kata Yohanes ketika dihubungi, Jumat, 25 Juli 2014.
Dia mengatakan lebih baik berada di luar sistem dan siap berkontribusi membangun bangsa. Namun Yohannes berterima kasih atas kepercayaan yang diberikan untuk masuk bursa menteri. Menurut dia, pengembangan riset di Indonesia tak hanya aplikasi, tapi juga yang fundamental, yaitu budaya riset.
"Kita tak boleh kalah untuk riset tentang universe ataupun tentang otak," tutur Yohannes yang sering membawa pelajar-pelajar Indonesia menang di olimpiade MIPA ini. Dalam riset aplikasi, ujar dia, Indonesia harus menjadi pencipta atau pengembang teknologi--tak hanya sebagai pemakai. (Baca juga: Menteri Pilihan Rakyat Dirilis Agustus Ini)
Yohanes saat ini sedang berupaya agar Surya University, universitas yang dia bangun, bisa menjadi pendorong tumbuhnya budaya riset di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Saat ini banyak riset aplikasi sedang dilakukan, baik dengan TNI AD maupun perusahaan seperti Kalbe group, Martha Tilaar Group, dan lain-lain.
Jokowi Center dan Radio Jokowi membuka polling dengan nama Kabinet Alternatif Usulan Rakyat. Nama-nama para profesional atau politikus disodorkan untuk menjadi menteri pembantu presiden. Pada Menteri Riset dan Teknologi, ada sejumlah nama peneliti seperti I Gede Wenten, Romi Satria Wahono, dan Yohannes Surya. (Baca: Penyusunan Kabinet ala Jokowi Dipuji)
SUNDARI
Baca juga:
Jokowi Diingatkan Waspadai Manuver Politik DPRD
Akhir Jabatan Jokowi, PNS Berebut Foto Bareng
PKS Mengaku Setia Dampingi Prabowo
Kriteria Menteri Jokowi-Kalla