TEMPO.CO, Jakarta - Rencana perampingan kabinet dalam pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla didukung ahli tata negara Refly Harun. Menurut Refly, banyak pos kementerian yang urgensinya patut ditinjau ulang. Dia mengatakan perampingan kabinet bergantung pada kepercayaan pusat kepada pemerintah daerah.
"Kalau bicara kementerian, sangat tergantung bagaimana perspektif desentralisasi dan otonomi daerah. Makin tidak percaya pada daerah, maka jumlah kementerian bisa saja dipertahankan 34 seperti saat ini," kata Refly saat dihubungi Tempo, Selasa, 29 Juli 2014.
Perampingan kabinet dipandang penting karena akan berdampak penekanan anggaran negara. "Bayangkan saja, kalau banyak kementerian, banyak agenda, anggaran seperti apa. Maka tidak heran program-program di daerah pun banyak di-drive (dikendalikan) oleh kementerian," ujar Refly.(Baca:Jokowi-JK Akan Rampingkan Jumlah Menteri )
Menurut dia, seharusnya sesuatu yang sudah bisa dilakukan oleh pemerintah daerah tidak perlu lagi digarap oleh pemerintah pusat. Refly mencontohkan pemanfaatan anggaran 20 persen untuk pendidikan. Anggaran sejumlah itu membuat pemerintah pusat ingin mengelola ujian nasional sepenuhnya. "Padahal kan level pendidikan tiap orang di tiap daerah berbeda. Masak iya semua disamaratakan saat ujian nasional?"
Refly memberi contoh demikian karena, menurut dia, hal paling konkret untuk menunjukkan tidak adanya kepercayaan pusat ke daerah bisa dilihat dari pendekatan terhadap proyek. "UN itu baru satu proyek yang bisa menyerap anggaran cukup besar," ujarnya.
Cara seperti ini semakin membuat anggaran kementerian tidak efektif. Padahal, jika pemerintah daerah sudah dapat menjalankan beberapa fungsi kementerian, kementerian itu sebaiknya dihapuskan.
Susunan kabinet, menurut Refly, pada akhirnya perlu dibagi dalam tiga kriteria, yakni primer, sekunder, dan tersier. Tataran kementerian primer ini merupakan pos kementerian yang disebut dalam konstitusi dan secara tradisi harus ada. Contohnya Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri, dan Kementerian Pertahanan. Termasuk pula pos keuangan dan perekonomian.(Baca:Partai Pendukung Jokowi-JK Siapkan Calon Menteri)
Selanjutnya, kementerian sekunder merupakan lapisan kementerian yang tidak begitu mempengaruhi jalannya pemerintahan. Jika ada, pemerintah terbantu. Jika tak ada, pemerintah tetap bisa berjalan. Contohnya, Kementerian Pendidikan, Kementerian Agama, dan Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Terakhir, kementerian tersier. Pos dalam lapisan ini yang paling bisa disorot untuk dihilangkan. Berdasarkan pengamatan Refly, kementerian dalam lingkup ini sering tak optimal dan tak memiliki peranan penting. Misalnya, Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT). Menurut dia, sejauh ini Kementerian PDT tidak punya tolok ukur keberhasilan. Juga Kementerian Sosial, yang sebenarnya pada pemerintahan Gus Dur sudah dihapus. "Dulu saja pernah dihapuskan, berarti kan sebenarnya tidak penting," kata Refly.
Intinya, Refly menegaskan agar pemerintahan jangan terjebak pada konsep. Dua hal utama yang perlu diperhatikan saat menyusun tim kementerian adalah apakah jika kementerian itu ditiadakan negara ini akan bermasalah? Serta apakah fungsi kementerian tersebut bisa dilakukan oleh pemerintah daerah?(Baca:Soal Kabinet, Pendukung Jokowi Diminta Sabar)
AISHA SHAIDRA
Baca juga:
Soal Kabinet, Pendukung Jokowi Diminta Sabar
Hari Ini Jalanan Jakarta Masih Bebas Aturan 3 in 1
Sanksi Disiapkan Bagi Pembuang Sampah dari Mobil
Situs Berita Palsu, Ini Cara Stop Penyebarannya