TEMPO.CO, Denpasar - Sudah setahun terakhir Joshua dan Linda Farkash menghindari menginap di hotel berbintang lima yang mewah di kawasan Nusa Dua, Bali. Pasangan asal Sydney, Australia, itu menerapkan gaya pelesiran berbeda. Mereka memilih tinggal di hotel kecil di Ubud yang menyatu dengan alam dan lingkungan.
Pilihan mereka bukan tanpa alasan. Pelancong yang dalam setahun terakhir sudah empat kali bolak-balik ke Pulau Dewata ini tidak lagi merasa nyaman tinggal di gedung-gedung besar yang lahap menelan listrik dan boros air. Padahal, 20 tahun lalu, mereka menginapi hotel-hotel mewah itu setiap berlibur. (Lihat foto: Wisata Terjun Bebas Dari Tebing Di Bali)
"Ini langkah kecil tapi nyata untuk menghadapi perubahan iklim," kata Joshua Farkash kepada Tempo, akhir Juli lalu. Bagi pria paruh baya ini, hotel gemerlap tak lagi mempesona, betapapun fasilitas lengkap tersedia, dari pantai, restoran, kafe, lapangan golf, hingga tempat belanja.
Joshua dan Linda menyadari dampak buruk pariwisata terhadap perubahan iklim. Ya, geliat pariwisata memang terus menyedot energi. Menurut data Badan PBB untuk Turisme Dunia (UNWTO), industri pelesiran menyumbang 5 persen emisi karbon global. Sekitar 21 persen dari angka itu disumbang sektor perhotelan. "Emisi berasal dari penggunaan bahan bakar minyak untuk memproduksi listrik dan keperluan lain," begitu pernyataan UNWTO.
Kondisi ini bukannya tak disadari oleh pengelola sektor perhotelan. Mereka sejatinya sudah mulai memperbaiki diri. Langkah yang umum adalah mengganti pencahayaan dengan lampu LED serta memasang kunci yang juga berperan sebagai pengatur aliran listrik di kamar.