TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti senior pada Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Syamsuddin Haris mengatakan ada sebelas dampak negatif bila pemilihan kepala daerah diselenggarakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. “Pemerintah daerah dan DPRD menjadi sangat kolutif dan transaksional yang berujung pada korupsi," kata Syamsuddin saat dihubungi, Jumat, 12 September 2014. (baca: RUU Pilkada Cerminkan Kepentingan Golongan)
Menurut Syamsuddin, pemilihan lewat DPRD akan mendatangkan kerugian lanjutan yang terlihat dari kinerja pemerintahan selama lima tahun setelah pilkada. Ia memprediksi selama lima tahun kepala daerah hanya akan melayani partai politik dan politikus DPRD. "Walhasil, kepentingan publik tidak terurus," ujar dia. (Baca: Pemerintah Mati-matian Loloskan Pilkada Langsung)
Dampak negatif ketiga adalah menguatnya oligarki partai politik. Oligarki partai akan mengurangi partisipasi dan akses masyarakat terhadap kebijakan yang dibuat pemerintah. Oligarki ini menyebabkan kerugian keempat, yaitu terjadinya pembajakan demokrasi karena kedaulatan rakyat digantikan kedaulatan elite partai.
Pemilihan lewat DPRD juga akan menyuburkan politik dinasti di tengah masyarakat. “Fenomena 'orang kuat lokal' malah tambah marak." Dampak lanjutannya, politik akan menjadi arena permainan para elite parpol. "Rakyat pembayar pajak hanya menjadi penonton,” ujar Syamsuddin. (Simak juga: Sengkarut Pilkada di DPR, Ini Asal Mulanya)
Kerugian ketujuh adalah mempersempit ruang calon perseorangan dan calon independen untuk maju dalam pemilihan kepala daerah. Padahal, keberadaan calon independen ini sudah dikuatkan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi. Bila kepala daerah dipilih DPRD, ada kecenderungan yang terpilih adalah calon yang diusulkan oleh mayoritas partai.
Kepala daerah yang dipilih DPRD, menurut Syamsuddin, akan tersandera dengan kepentingan partai politik pengusung. "Sehingga visi misinya tidak bisa berjalan." Kesembilan akan terjadi kemerosotan demokrasi.
Pemilihan lewat DPRD juga dinilai bisa menghambat kesempatan bagi tokoh-tokoh terbaik daerah untuk maju dan bersaing dalam pilkada. Peluang mereka terhalang dengan aturan dan kemauan partai. Sedangkan kerugian terakhir efisiensi dan penekanan biaya pilkada belum tentu menjadi lebih rendah. “Biaya politik pilkada melalui DPRD belum tentu lebih murah dari biaya politik pilkada langsung.”
MUHAMMAD MUHYIDDIN
Terpopuler:
Diminta Copot Jabatan, Ahok Tantang Gerindra
Sengkarut Pilkada di DPR, Ini Asal Mulanya
Kepala Daerah Pendukung Prabowo Membelot