TEMPO.CO, Yogyakarta - Sekelompok lembaga non pemerintah di Yogyakarta berunjuk rasa menolak Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah, Ahad sore, 21 September 2014. Aksi damai itu dijadwalkan berlangsung di depan Istana Kepresidenan Gedung Agung Yogyakarta.
Juru Bicara Institute for Research and Empowerment, organisasi yang terlibat dalam aksi itu, Machmud Nasruddin, mengatakan penerapan pemilu kepala daerah tak langsung, dengan proses pemilihan di DPRD, hanya akan merampas hak warganegara dalam menentukan pemimpinnya. “Ini nalar sesat politisi yang rakus kekuasaan,” kata dia dihubungi Tempo, Ahad siang. (Baca juga: Tiga Rambu dalam Pilkada oleh DPRD)
Menurut Machmud, pemilu ikepala daerah langsung adalah wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat di daerah. Itu tergambar dalam sistem presidensial yang dianut negara ini. Dengan presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat, kata dia, tak masuk akal jika sistem parlementer berlaku di daerah.
Pergantian sistem pemilu kepala daerah dari langsung menjadi tak langsung karena alasan hemat anggaran dibantah Machmud. Menurut dia, rata-rata biaya pemilu kepala daerah langsung hanya berkisar satu persen dari belanja daerah. “Pilkada tak langsung hanya akal-akalan untuk memborong kekuasaan di daerah,” kata dia. (Baca juga: Pilkada Langsung Irit Anggaran Rp 35 Triliun )
Dukungan pada penerapan pilkada langsung terus menguat di Yogyakarta. Sebelumnya, seratus orang kepala dukuh dari empat kabupaten di DIY mendatangi gedung DPRD DIY, Rabu 17 September 2014 kemarin. Mereka menyatakan penolakan terhadap pemilu kepala daerah tak langsung pada para legislator.
ANANG ZAKARIA
Berita lain:
Sabet Dua Perak, Indonesia Sementara Peringkat 10
Sosok Misterius di Balik Make Over Polwan Cantik
Mobil yang Bikin Pengemudi Tetap Eksis di Medsos