TEMPO.CO, Jakarta - Pakar hukum tata negara dari Universitas Indonesia, Refly Harun, mengatakan Undang-Undang Pilkada akan tetap memiliki legalitas kuat meskipun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ogah menandatanganinya. "Sudah terlambat," ujarnya, Senin, 29 September 2014.
Refly menjelaskan cara yang paling efektif untuk menolak suatu RUU adalah pada saat Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat. "Suatu undang-undang akan sah dalam 30 hari jika presiden tidak menandatanganinya," kata Refly.
Oleh karena itu, Refly mengatakan Undang-Undang Pilkada ini tetap bisa diuji materi ke Mahkamah Konstitusi. Dengan catatan, ketika undang-undang tersebut sah dengan tanda tangan presiden atau sah secara otomatis setelah 30 hari.
Sebelumnya, SBY menyatakan kekecewaannya terhadap Fraksi Demokrat yang walkout saat Rapat Paripurna RUU Pilkada, Kamis, 25 September 2014. Fraksi Demokrat walkout karena opsi pemilu kepala daerah yang diajukan tidak mendapat dukungan sama sekali dari fraksi lain.
Merasa dilangkahi, SBY mengatakan berat untuk menandatangani undang-undang itu. Padahal, Fraksi Demokrat, menurut pengakuan SBY, diarahkan untuk mendukung pilkada langsung. (baca juga: Gugat UU Pilkada, SBY Dianggap Sumpah Palsu)
Karena aksi walkout Fraksi Demokrat, RUU Pilkada disahkan dengan mengembalikan kedaulatan DPRD dalam memilih kepala daerah. Dari 135 anggota fraksi, hanya enam orang yang bertahan untuk mendukung pilkada langsung. (baca juga: RUU Pilkada, SBY Minta Dalang Walkout Diusut)
Melalui mekanisme voting, anggota Dewan yang menyetujui pilkada melalui DPRD jauh melebihi anggota yang menentang. Untuk pilkada langsung ada 135 orang anggota, yang memilih DPRD 226 orang anggota, abstain 0, dari jumlah 361.
ANDI RUSLI
Berita Terpopuler:
2 Alasan Lucu Soal SBY Gugat UU Pilkada
'SBY Kecewa UU Pilkada, tapi Rakyat Tidak Bodoh'
#ShameOnYouSBY Hilang, Muncul #ShamedByYou
5 Argumen DPR Soal Pilkada DPRD yang Terbantahkan
Cari Dalang UU Pilkada, SBY Diminta Introspeksi