TEMPO.CO, Mentawai - Warga Desa Peipei, Kecamatan Siberut Barat Daya, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, memiliki cara unik untuk membangun rumah tembok. Mereka memanfaatkan terumbu karang sebagai bahan pengganti kerikil dan batu yang dicampur adonan semen.
Hal ini bisa dijumpai di depan rumah Jinten, salah seorang warga Mentawai, Selasa, 14 Oktober 2014. Puluhan terumbu karang yang besar dan bulat teronggok di sana. Terumbu karang yang biasa disebut karang otak itu berjenis Porites, Favia, dan Goniastrea. Di laut, terumbu karang ini berfungsi sebagai barisan penahan gempuran ombak dan melindungi pantai dari abrasi. (Baca juga: Sampah Ancam Terumbu Karang Wakatobi)
Tidak jauh dari depan rumah Jinten, teronggok karang jari berjenis Montipora, Pocillopora dan Acropora bercabang. Terumbu karang itu masih berwarna putih karena baru dibongkar beberapa hari lalu. Jinten membelinya Rp 125 ribu per meter kubik dari penggali terumbu karang yang mengambilnya dari Pulau Nyang-Nyang di depan Desa Peipei.
"Mau bagaimana lagi, di sini tidak ada batu. Dengan apa kami akan membangun rumah kalau ini dilarang," kata Jinten kepada Tempo, Selasa pekan lalu. Lelaki 50 tahun ini dan warga desa lain menggunakan terumbu karang lantaran tidak tersedia batu galian dan kerikil di Kepulauan Mentawai.
Untuk membangun rumah tembok, mereka harus mendatangkan batu dan kerikil dari Padang dengan kapal. Sesampainya di Mentawai, harga material itu menjadi Rp 400 ribu per meter kubik. "Itu sangat mahal," kata Jinten. Itu sebabnya warga setempat sejak dulu memilih menggunakan karang sebagai bahan membangun fondasi rumah atau rumah tembok.
Tidak hanya rumah, jalan cor buatan pemerintah di Desa Peipei juga dibuat dengan bahan baku terumbu karang. Pada jalan yang rusak terlihat potongan-potongan terumbu karang yang mencuat dari dalam. (Baca juga: Bom Ikan Rusak 75 Persen Terumbu Karang di Malang)
Samsuardi, peneliti terumbu karang dari Yayasan Minang Bahari, Padang, mengatakan kebiasaan warga memakai terumbu karang sebagai bahan bangunan telah mengubah bentang alam pulau. Sekitar 15 tahun lalu, saat meneliti karang di pulau-pulau kecil di depan Desa Peipei, perahu mereka tidak bisa merapat karena pantai dipenuhi karang.
"Tetapi sekarang, lihat saja, sudah ada dermaga dan sudah berpasir karena karangnya sudah habis diambil," kata Samsuardi, yang sedang melakukan penyelaman untuk memetakan dan meneliti potensi Pulau Karoniki di depan Desa Peipei.
Yang juga membikin miris adalah pinggiran pantai kini tampak terkikis abrasi. "Sekarang mereka mengambil karang dari pulau-pulau kecil di depannya, padahal kawasan ini termasuk daerah konservasi terumbu karang," ucap Samsuardi.
Ia mengatakan abrasi menjadi ancaman serius bagi Kepulauan Mentawai karena pengambilan karang untuk bahan bangunan terus berlangsung sejak dulu dan terjadi di seluruh kawasan pulau. Ini ironis, lantaran pemulihan terumbu karang memerlukan waktu lama.
Karang otak, misalnya, memerlukan waktu 25 tahun untuk mencapai diameter 50 sentimeter. Untuk berdiameter 30 sentimeter, karang itu memerlukan 15 tahun. "Pertumbuhannya hanya 2 sentimeter per tahun. Ini harus serius ditanggulangi," kata Samsuardi.
Untungnya, masih ada tutupan karang di sebagian wilayah Kepulauan Mentawai yang kondisinya cukup bagus dan rapat. Saat menyelam di depan Pulau Karoniki, misalnya, Samsuardi masih menjumpai banyak koloni karang, namun berukuran kecil. "Terumbu karang di Mentawai harus berjuang untuk tumbuh karena gelombangnya besar. Begitu tumbuh, mereka sudah dihajar gelombang dan patah, apalagi kalau terus diambil dengan linggis," katanya.
FEBRIANTI
Berita Lainnya:
Band Arkarna Tiba di Jakarta untuk Selamati Jokowi
Pesan Yenny Wahid ke Jokowi: Istana Banyak Hantunya
Siapa Lebih Banyak Punya Gelar, SBY atau Sukarno?