TEMPO.CO, Banyuwangi - Pengamat Baha'i Indonesia dan Asia Tenggara, Amanah Nurish, mengatakan pemerintah tak cukup hanya mengeluarkan kebijakan mengkosongkan kolom agama pada kartu tanda penduduk.
Yang lebih penting dari itu, kata dia, adalah pemerintah harus mengayomi kelompok minoritas, termasuk pemeluk agama Baha'i. "Ini bukan persoalan identitas keagamaan, tetapi persoalan mayoritas-minoritas yang menjadi pemicu polemik berkepanjangan," kata Amanah Nurish dalam pesannya kepada Tempo, Selasa, 11 November 2014.
Menurut dia, pencantuman agama dalam KTP memang telah memproduksi diskriminasi terhadap kelompok minoritas Baha'i di Indonesia. Identitas keagamaan ini kemudian menjadi belenggu ketidakadilan pemerintah dalam pelayanan hak-hak sipil. (Baca berita sebelumnya: Umat Baha'i Harapkan Pengakuan Negara)
Pemerintah, kata dia, tidak mengizinkan pemeluk Baha'i untuk mencantumkan agama mereka di KTP. Sehingga mau tak mau penganut Baha'i harus mencantumkan salah satu agama resmi di KTP mereka. Di samping itu, anak-anak yang lahir dari keluarga Baha'i juga tidak mendapatkan akte kelahiran.
Padahal, sesuai amanah konstituasi Pasal 28E dan Pasal 29 UUD 1945, setiap orang memiliki hak yang sama untuk hidup di Indonesia. Apalagi berdasarkan UU 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, dinyatakan, agama Baha'i merupakan agama di luar Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, dan Khonghucu. "Undang-undang ini sudah jelas dan tinggal mengaplikasikan dalam segmen pemerintahan lokal sampai tingkat nasional," kata kandidat doktor dari Indonesian Consortium For Religious Studies (ICRS) Universitas Gadjah Mada ini.
Sehingga, kata Nurish, pengosongan kolom agama sejatinya belum tentu menjamin tuntasnya problem intoleransi kehidupan beragama apabila negara tak menyelesaikan masalah mayoritas-minoritas tersebut. "Konteks toleransi dan kehidupan beragama akan tetap amburadul," kata perempuan asal Banyuwangi ini. (Baca: Menteri Agama Ingin Semua Agama Dilayani Negara)