TEMPO.CO, Jakarta - Kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi diperkirakan tidak memicu lonjakan inflasi yang besar. Ekspektasi rendahnya inflasi memicu pelaku pasar kembali mengoleksi saham di lantai bursa. (Baca: Alasan Jokowi Berani Naikkan Harga BBM)
Indeks harga saham gabungan di Bursa Efek Indonesia menguat 4,45 poin (0,09 persen) ke level 5.053,84 pada Senin, 17 November 2014. Analis dari PT First Asia Capital, Ivan Kurniawan, mengatakan turunnya harga minyak mentah dunia ke level US$ 75 per barel memunculkan ekspektasi bahwa besaran kenaikan harga BBM tidak akan terlalu membebani masyarakat dan dunia usaha.
Kenaikan harga BBM sebesar Rp 2.000 per liter, ujar Ivan, bisa menekan inflasi di bawah 2 persen. Dengan inflasi tahun kalender yang sekarang berada di level 4,5 persen, kenaikan pada akhir tahun masih sesuai dengan koridor Bank Indonesia. Turunnya harga minyak mentah dunia memberi keuntungan tersendiri tanpa mengorbankan potensi alokasi fiskal yang diperoleh dari pencabutan subsidi tersebut.
Menurut Ivan, pasar sudah bisa memaklumi kenaikan harga BBM bersubsidi apabila efeknya tidak terlalu menyakitkan. Semakin rendah dampak inflasi, semakin positif bagi pasar. “Saham-saham yang diuntungkan dengan sentimen inflasi rendah antara lain saham perbankan, infrastruktur, konstruksi, dan konsumer,” kata dia.
Pada hari ini, Selasa, 18 November 2014, IHSG diperkirakan masih berada pada 5.000-5.100. Saham-saham konstruksi masih menarik seiring dengan rencana pemerintah mengalokasikan dana subsidi ke sektor infrastruktur. “Beberapa yang bisa dilihat misalnya Jasa Marga (JSMR), Perusahaan Gas Negara (PGAS), Wijaya Karya (WIKA), Adhi Karya (ADHI), dan Telkom (TLKM),” tutur Ivan.
M. AZHAR
Berita Terpopuler
Menteri Susi Akui Dipilih Jokowi karena Gila |
Bagaimana Kubu Prabowo Hadang Ahok di DKI?
Jokowi Pulang, Ekonom: Mustahil Harga BBM Naik