TEMPO.CO, Jakarta - Amandemen kontrak karya PT Freeport Indonesia hingga kini belum kunjung rampung. Meski pembahasan telah berlangsung selama enam bulan sejak penandatanganan nota kesepahaman (MoU) pada Juli 2014, sampai saat ini amandemen masih membahas dokumen legal. (Baca: Tak Bangun Smelter, Ekspor Freepot Bakal Ditunda)
"Proses amandemen masih terus, kami masih bicara mengenai dokumen legal, jadi pembahasan masih berlangsung secara hukum," kata Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Rozik B. Soetjipto seusai pertemuan dengan pemerintah di gedung Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara, Selasa, 6 Januari 2015. (Baca: Freeport Diharuskan Bangun Smelter di Papua)
Menurut dia, pembahasan secara hukum untuk menghasilkan dokumen amandemen tersebut tak banyak perubahan. Enam poin renegosiasi juga sudah beres. "Tinggal mencantumkan kata-kata saja itu pekerjaannya orang hukum," ujar Rozik.
Freeport telah meneken nota kesepahaman renegosiasi kontrak karya pada Senin, 7 Juli 2014 lalu. Dengan kesepakatan tersebut, ada enam poin renegosiasi yang sudah disepakati, yakni pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian mineral (smelter), luas lahan tambang, perubahan perpanjangan kontrak menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP).
Selain itu, kenaikan royalti untuk penerimaan negara, divestasi kepemilikan saham, dan penggunanaan barang dan jasa pertambangan dalam negeri (TKDN). (Baca: Pembangunan Smelter Freeport Sulit Capai Target)
Baca Juga:
Dari keenam poin, itu hanya soal penerimaan negara yang perlu pembahasan lebih mendalam. Hal ini lantaran besaran pajak yang dibayarkan Freeport mengacu pada dua ketentuan, yakni berdasarkan peraturan yang berlaku dan ada yang ditetapkan di kontrak.
AYU PRIMA SANDI
Terpopuler
Sangat Berani, Tim SAR Indonesia Dikagumi Amerika
Ini Alasan Johan Mundur sebagai Juru Bicara KPK
Jonan Selidiki Pejabat 'Penjual' Izin Air Asia
Kata Lukman Sardi Jika Wiranto Danai 'Di Balik 98'
Riset BMKG: Air Asia Jatuh karena Mesin Beku