TEMPO.CO, Jakarta - Menurut sosiolog Universitas Negeri Jakarta, Robertus Robet, sikap tegas Presiden Joko Widodo dalam menolak grasi terpidana mati kasus narkoba sebenarnya sebagai kompensasi atas kelemahannya dalam hal lain.
"Dia dikritik dalam banyak hal, karena tidak mampu mengambil sikap politik. Maka dia bersikap lebih keras soal hukuman mati," kata Robertus seusai diskusi di kantor Kontras, Jakarta, Minggu, 1 Maret 2015.
Menurut Robertus, sebelum mencuatnya kasus KPK versus Polri, Jokowi hanya menyatakan akan menindak tegas terdakwa penyalahgunaan narkoba. Akan tetapi, ketika konflik tersebut mengemuka, Jokowi berubah menjadi lebih keras tentang hukuman mati untuk menutupi kelemahannya dalam pengambilan keputusan publik yang lain.
Awal Januari lalu enam terpidana mati dieksekusi di Nusakambangan dan Boyolali. Kejaksaan Agung kini sedang merencanakan eksekusi mati tahap kedua. Kejaksaan berencana kembali mengeksekusi 11 terpidana mati yang sudah ditolak permohonan grasinya.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar menyatakan Jokowi bersikap fatalistik dalam memutuskan hukuman mati. "Hukuman mati gagal karena tidak melalui berbagai pertimbangan," ujar Haris. "Ini kabar buruk untuk kita semua."
Haris memperkirakan akan banyak kerugian Indonesia akibat "ketegasan" Jokowi soal hukuman mati. Salah satu di antaranya adalah memburuknya hubungan dengan negara lain, seperti Australia, padahal selama ini kerja sama yang terjalin antara kedua negara sudah sangat bagus.
MOYANG KASIH DEWIMERDEKA