TEMPO.CO, Jakarta -Pada zaman serba digital ini, arsitek Antony Liu masih menggambar sketch dengan tangan. Alasannya, karena lebih menantang, bebas, dan menggerakkan seluruh indra tubuhnya.
Pemilik biro arsitek Studio TonTon ini jago menggambar sejak kecil. Hobi itu dia teruskan sampai sekarang dan hasilnya bisa kita saksikan, di antaranya pada sebuah lukisan di kafe dia.lo.gue di Kemang, Jakarta Selatan, tentang sejumlah batu dengan berbagai ekspresi. "Masing-masing batu mewakili pegawai Studio TonTon," kata Antony, 47 tahun, Jumat dua pekan lalu. "Tapi pegawai yang mana, cuma saya yang tau, ha-ha-ha..”
Saat itu dia meluncurkan buku Studio TonTon dan pameran karya-karyanya di kafe tersebut. Maket-maket di ekshibisi tersebut bak miniatur perjalanan karier Antony dan rekannya, Ferry Ridwan, sebagai arsitek, karya-karya yang menurut arsitek sekaligus penulis Avianti Armand sukar dikategorisasi dalam genre tertentu. “Desain arsitektur itu harus bisa dialami, tidak sekadar enak dilihat. Itu yang ingin saya sampaikan lewat desain,” ujar Antony.
"Jangan jadi arsitek yang mengandalkan pemandangan alam, tapi jadilah arsitek yang menciptakan pemandangan sendiri lewat desain." Itu prinsip Anda?
Dalam merancang sesuatu, saya sangat suka mengeksplorasi tempat. Tapi pemandangan alam buat saya cuma bonus. Yang lebih penting adalah bagaimana sebuah ruang kecil bisa kami bikinin pemandangan.
Bagaimana contohnya?
Bisa dengan memperbesar volume ruangan, memakai warna putih, dan mengatur potongan ruang sehingga ada permainan warna dan cahaya.
Anda sepertinya suka sekali pakai putih?
Enggak harus putih, sih, tapi memang warna tersebut bisa membantu kami menyampaikan tujuan permainan warna dan cahaya itu tadi. Seperti yang kami terapkan di Studio TonTon. Putih itu juga menyimbolkan kemurnian, dan merupakan warna favorit kami.
Pengalaman apa yang ingin Anda bagikan lewat Studio TonTon?
Studio kami memang punya pemandangan lapangan golf. Itu potensi, tapi jangan diekspos habis-habisan. Kami (Antony dan rekannya Ferry Ridwan) lalu berpikir bagaimana menciptakan ruangan yang melewati pepohonan dan pancuran air. Dua itu penting untuk meredam suara kendaraan bermotor. Kami juga ingin orang merasakan bagaimana refleksi cahaya pagi menerpa ruangan, dan interaksi alam dengan studio kami.
Selain Studio TonTon, Anda juga punya karya lain yang tak kalah cantiknya. Seberapa penting gaya bangunan bagi Anda?
Saya enggak pernah pusing urusan gaya, kok begini atau begitu. Bagi saya, karakter bangunan seorang arsitek akan terbentuk dan terlihat sendiri. Saya suka dibilang sebagai arsitek yang belajar. Kalau ada arsitek yang sekali lihat sesuatu langsung kepikiran konsep bangunan, saya lebih banyak mendengar dan memperhatikan pertanda. Itulah mengapa dalam mengkreasi sesuatu saya butuh waktu lama. Yah, yang sabar-sabar aja lah dengan saya, he-he-he..
Karya-karya Studio TonTon kebanyakan minimalis. Sebenarnya Anda ingin orang mendefinisikan karya Studio TonTon seperti apa?
Sebenarnya kami enggak pernah memikirkan soal itu, yang penting bangunan yang kami buat itu baik dan tahan cuaca apa pun. Tapi yang jelas, saya ingin rancangan saya bisa membuat orang merasakan suasana tertentu ketika berada di situ. Memang gara-gara itu banyak orang heran ada arsitek kayak kami, yang mau ribet ngurusin detail. Tapi enggak apa-apa, ini kan idealisme kami. Kami sadar kok, enggak semua karya kami bisa menyenangkan semua orang.
Apa saja yang Anda tuangkan dalam desain, agar bangunan itu nantinya "sangat Studio Tonton"?
Kami saat ini sedang mempelajari soal fungsi. Misalnya, bagaimana membuat lampu di luar ruangan yang tahan karat, juga bagus bagian dudukannya. Itu hal-hal kecil dan detail yang “sangat kami”. Saya enggak pengen membikin sesuatu yang konsepnya keren, tapi urusan pemeliharaannya ribet.
Isma savitri
Berita lainnya:
Kekayaan Bill Gates Separuh dari APBN Indonesia
Angket DPRD: Ini Penyebab Gubernur Ahok di Atas Angin
DPRD: Pengadaan UPS Tak Mungkin Bertepuk Sebelah Tangan