TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian gugatan yang diajukan General Manager Sumatera Light South PT Chevron Pacific Indonesia Bachtiar Abdul Fatah. "Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat dalam persidangan di gedung Mahkamah Konstitusi, Selasa, 28 April 2015.
Mahkamah menyatakan Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) inkonstitusional terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (5) UUD 1945. Hakim beralasan pasal-pasal tadi mengabaikan prinsip hak atas kepastian hukum yang adil.
Dalam persidangan, hakim konstitusi Anwar Usman mengatakan KUHAP tak mengatur ketentuan dan mekanisme jumlah alat bukti dalam penetapan tersangka. Pasal 1 angka 14 KUHAP, misalnya, menyatakan penetapan tersangka hanya didasari bukti permulaan tanpa menyebutkan jumlah alat bukti. Berbeda dengan Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang menyebutkan bahwa bukti permulaan telah ada apabila ditemukan sekurang-kurangnya dua alat bukti.
"Bahwa asas due process of law sebagai perwujudan pengakuan hak-hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana menjadi asas yang harus dijunjung tinggi oleh semua pihak, terutama bagi lembaga-lembaga penegak hukum," ujar Anwar.
Karena itu, Mahkamah mengubah Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) dengan menambahkan frasa "minimal dua alat bukti" dalam proses penetapan dan penyidikan seseorang sampai menjadi tersangka. Sebab, sebelumnya dalam pasal-pasal itu tidak dijelaskan jumlah bukti permulaan.
Selain itu, Mahkamah mengubah ketentuan Pasal 77 KUHAP tentang obyek praperadilan. Mahkamah menambahkan penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan sebagai obyek praperadilan.
Hakim beralasan, "Bahwa pada saat KUHAP diberlakukan pada tahun 1981, penetapan tersangka belum menjadi isu krusial dan problematik dalam kehidupan masyarakat Indonesia," kata Anwar dalam persidangan. "Upaya paksa pada masa itu secara konvensional dimaknai sebatas pada penangkapan, penahanan, penyidikan, dan penuntutan. Namun, pada masa sekarang, bentuk upaya paksa telah mengalami berbagai perkembangan atau modifikasi yang salah satu bentuknya adalah “penetapan tersangka oleh penyidik” yang dilakukan oleh negara dalam bentuk pemberian label atau status tersangka pada seseorang tanpa adanya batas waktu yang jelas."
Tiga hakim dissenting opinion atas keputusan ini. Mereka adalah I Dewa Gede Palguna, Muhammad Alim, dan Aswanto. Ketiga hakim konstitusi ini menganggap pasal 77 menyebutkan penetapan tersangka tetap bukan bagian dari obyek praperadilan.
Bachtiar Abdul Fatah divonis 2 tahun penjara dan denda Rp 200 juta pada Oktober 2013. Ia bersalah dalam proyek normalisasi lahan tercemar minyak atau bioremediasi di Riau pada kurun 2006-2011. Bachtiar sebelumnya sudah dibebaskan berdasarkan putusan praperadilan. Namun dia dipaksa ditahan lagi sejak 17 Mei 2013.
REZA ADITYA