TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Wihadi Wiyanto mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menganulir batasan aturan peninjauan kembali (PK) akan diadopsi dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. "Putusan itu akan dijadikan pembahasan revisi KUHAP," ujarnya ketika dihubungi, 3 Mei 2015.
Menurut Wihadi, putusan itu menandakan sistem peradilan di Indonesia masih menyisakan banyak masalah. Selama ini, penilaian majelis hakim atas suatu kasus sangat ditentukan oleh temuan alat bukti yang tidak sepenuhnya berhasil dihimpun penyidik. "Akibatnya banyak putusan yang tidak mencerminkan asas keadilan dan kebenaran," katanya.
Meski demikian, Wihadi meyakini pembahasan aturan peninjauan kembali akan berlangsung alot. Sebab, aturan itu juga ikut menentukan format revisi sistem peradilan pidana terpadu, khususnya yang menyangkut UU Kekuasaan Kehakiman dan UU Mahkamah Agung. "Saya yakin revisinya bakal sangat panas, karena ada tarik-menarik kepentingan di situ." .
Hal serupa dinyatakan anggota Komisi Hukum dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani. Menurut dia, aturan peninjauan kembali perlu diperjelas untuk menciptakan kepastian hukum. "DPR dan pemerintah pasti menjadikan itu sebagai bahasan. Karena putusan itu menjadi norma hukum baru, baik yang terkait UU Kekuasaan Kehakiman maupun UU Mahkamah Agung," katanya.
Bagi Arsul, aturan peninjauan kembali bisa saja tetap dibatasi sejauh terpidana maupun jaksa penuntut sudah mengajukan peninjauan kembali Namun ia mengusulkan agar ketentuan grasi tak dibatasi hanya sekali. "Jika terdapat temuan alat bukti baru, prosesnya bisa dianulir lewat grasi. Jangan sampai proses peradilan menutup hak terpidana untuk mendapatkan kebenaran," katanya.
RIKY FERDIANTO