Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LARANTUKA seperti membeku dalam hening pada Ahad siang itu, tiga pekan lalu. Jalanan di pusat kota yang biasa riuh oleh bemo yang meraung-raung senyap tiba-tiba. Toko-toko tutup. Perahu-perahu motor membuang sauh di pelabuhan, lalu mematikan mesin. Bocah-bocah berkulit legam, berambut kriwil, yang biasa dolan di pantai, lenyap entah ke mana.
Langit biru, hawa laut nan hangat mengaliri sekujur kota. Suasana sunyi, nyaris memilukan, seperti lamentasi tanpa suara. Keheningan itu akhirnya pecah pada pukul tiga siang oleh kidung pujian yang dilantunkan dari Kapela Tuan Ma.
Perlahan, sekitar 70 anggota Konfreria—pria nonbiarawan berjubah putih, berkalung medali Santo Dominikus—menapaki ruas jalan yang memisahkan kapela itu dengan Laut Flores. Di belakang mereka, seratusan perempuan, kebanyakan sudah sepuh, mengikuti.
Lima anggota Konfreria menandu patung berwarna kusam emas: Maria Reinha Rosari atau Maria Ratu Rosario. Setinggi setengah meter, patung itu berkerudung, menggendong Yesus kecil. Kepalanya bermahkota, tubuhnya berkalung rosario. Tongkat keemasan milik (bekas) Kerajaan Larantuka disandarkan ke tubuhnya, lambang penyerahan Larantuka kepada Reinha Rosari.
Di kejauhan perbukitan Pulau Adonara dan Solor tampak hijau lebam—dikitari laut sebiru lazuardi. Iring-iringan bergerak menuju Katedral Larantuka, yang berjarak satu setengah kilometer dari Kapela Tuan Ma.
Umat yang menanti di depan rumah dan lorong-lorong datang bergabung hingga 600-an orang. Jari mereka memilin butiran tasbih. Pujian kepada Maria didaraskan sepanjang jalan. ”Salam Maria, penuh rahmat, Tuhan sertamu….”
Di dalam katedral, lebih dari 2.000 orang menanti. Tujuh pintu terbuka dan empat kipas angin besar tak mampu menghalau panas. Saat Reinha Rosari ditakhtakan di sebelah kanan altar misa, ribuan manusia memadahkan lagu:
”Kami datang padamu Maria,
kala hidup jadi ziarah.
Dalam dikau kami berharap…”
Upacara itu mengawali triduum atau tiga hari perenungan menuju puncak peringatan Lima Abad Tuan Ma di Larantuka. Sebutan Tuan Ma dipersembahkan umat Katolik setempat bagi patung Bunda Maria Berdukacita. Tuan Ma sendiri tetap bersemayam di kapelanya—dan tak menghadiri upacara pembukaan meriah itu.
Empat hari setelah perayaan di katedral, sekitar 200 orang berjejal, antre selama dua jam di depan Kapela Tuan Ma. Sejumlah ibu dari Gereja San Juan, empat kilometer dari Kapela Tuan Ma, datang dengan setelan kebaya ungu, tanpa alas kaki. Para peziarah yang tak kebagian tempat antre di halaman di bawah terpaan matahari bulan Oktober yang menyengat.
Pukul sembilan, permaisuri Kerajaan Larantuka, Dona Martina Kanena Ximenez Da Silva-Diaz Vieyra Godinho—atau biasa disebut Mama Dona DVG—membuka kapela menyerahkan kunci kepada Uskup Larantuka, Monsinyur Fransiskus Kopong Kung. Inilah untuk pertama kalinya seorang pejabat resmi gereja membuka Kapela Tuan Ma.
Begitu pintu dibuka, asap dupa memenuhi ruangan. Saat asap memudar, sosok di tengah ruangan setinggi 170 sentimeter nyata terlihat. Dialah Tuan Ma yang akan menunjukkan diri selama tiga hari kepada para peziarah.
Ratusan lilin dinyalakan. Seorang Mama Muji—para ibu yang bertugas berdoa di depan Tuan Ma—mengipasi kemenyan dalam anglo membara. Konfreria kembali mendaras dan melagukan kidung.
Tak semua umat Katolik Larantuka mau datang ke kapela pada pekan perayaan itu. Well Wungubelen salah satunya. Alasan dia, membuka patung Tuan Ma di luar Semana Santa atau Pekan Suci Paskah melanggar tradisi. Kata Well, ”Melanggar tradisi sama saja tak menghormati Tuan Ma.”
Memang, inilah pertama kalinya Tuan Ma dikeluarkan dari ruang penyimpanan di luar Semana Santa. Seorang anggota Konfreria mengatakan peziarah pada pesta Lima Abad Tuan Ma lebih sedikit ketimbang saat Semana Santa. Pada hari-hari itu, menurut dia, antrean peziarah bisa sampai satu kilometer.
Pada setiap Jumat Agung—dalam Pekan Paskah—Tuan Ma diarak bersama Tuan Ana yang berupa peti mati berisi patung Yesus. Eduardus Jebarus, imam diosesan Keuskupan Larantuka yang meneliti catatan para misionaris, memperkirakan perarakan ini sudah berlangsung lebih dari 400 tahun, seiring dengan kedatangan misionaris Ordo Dominikan dari Portugal. Pastor-pastor inilah yang mula pertama mengkatolikkan masyarakat Flores. ”Tradisi perarakan ini berlangsung juga di Portugal dan sejumlah negara Amerika Latin,” kata Edu.
Nah, kehadiran Tuan Ma justru lebih dulu ketimbang para misionaris Dominikan. Patung itu, menurut cerita, ditemukan seorang pemuda suku Resiona. Keturunan kesembilan pemuda itu, Wempy Resiona, mengatakan kepada Tempo bahwa penemuan Tuan Ma masih tetap misteri bagi keluarga mereka. Tapi ia percaya patung itu ditemukan terdampar di Pantai Ae Kongga.
Sampai saat ini, belum ada catatan sejarah yang menyebutkan asal dan waktu kedatangan Tuan Ma. Yan Riberu, seorang mantan pastor Ordo SVD yang meneliti naskah-naskah Portugal dan Belanda, menduga patung itu berasal dari kapal terdampar.
Dalam dokumen yang ditelitinya, ada satu kapal Portugis kandas pada 1511, tapi bukan di Ae Kongga, melainkan di Pantai Lokea. Indikator tahun 1511 inilah yang dijadikan titik perayaan Tuan Ma. ”Bisa jadi patung sudah lebih dari 500 tahun, bisa juga kurang dari itu,” katanya.
Patung Tuan Ma lalu disimpan di korke, semacam tempat pemujaan. Seorang pastor Portugal yang datang berkunjung terkaget-kaget menyaksikan bahwa yang disembah sebagai dewi adalah Bunda Maria, ibu Yesus, Tuhan umat Katolik. Kata Yan Riberu, masyarakat memberi patung itu nama Tuan Ma. Sebutan ”tuan” digunakan untuk orang yang dihormati, sedangkan ”ma” diambil dari kata ”mama”.
Larantuka amat menghormati Bunda Maria—bahkan penghormatannya disebut-sebut melebihi kepada Yesus. Raja Ola Ado Bala yang dibaptis pada 1646—lalu mengubah namanya menjadi Ola Ado Bala Diaz Vieyra Godinho—sampai-sampai menyerahkan tongkat kerajaan kepada Reinha Rosari. ”Devosi kepada Maria di Kupang tak sebesar ini,” kata Margaretha Ali, yang berziarah ke Larantuka.
Sampai sekarang, patung Maria bertebaran di berbagai sudut Larantuka. Di Taman Doa, di seberang Kapela Tuan Ana, terdapat Pieta atau Maria memangku jenazah Yesus. Dari Waibalun menuju Lokea terdapat patung Reinha Rosari setinggi hampir lima meter. Di depan rumah Raja Larantuka tegak patung Maria Dolorosa.
Tetap saja, Tuan Ma menjadi patung tertua dan paling dihormati di seantero Larantuka—menjadi tokoh sentral devosi umat Katolik setempat. Banyak di antara umat yang memiliki gambar Tuan Ma di atas Gunung Mandiri yang menjadi landmark Kabupaten Flores Timur. Di bawahnya terdapat tulisan: ”Inilah Ibumu”. Umat setempat amat hati-hati membicarakan perihal devosi ini. ”Bisa umur pendek,” kata seorang pemuda Kapela Tuan Ma.
Penjagaan terhadap Tuan Ma pun amat ketat selama Semana Santa. Hanya 13 anggota Konfreria terpilih diperbolehkan memandikan dan menjubahi Tuan Ma. Saat Tuan Ma dikeluarkan dari ruang penyimpanan, hanya 13 orang ini yang boleh berada dalam kapela. Mereka terikat sumpah tak membocorkan apa yang mereka lihat kepada orang lain. ”Bahkan kepada istri,” kata Ketua Konfreria Yan Nuan.
Alhasil, peringatan lima abad sempat terancam tanpa kehadiran Tuan Ma. Sejumlah pihak ingin patung itu dikeluarkan dan diarak. Tapi sebagian besar menolaknya. Raja Larantuka, Don Martinus Diaz Vieyra Godinho, mengakui pihak kerajaan sempat menolak karena dipandang melanggar tradisi.
Perdebatan berlangsung hingga lima bulan. Ketua Mama Muji, Yuliana Isa Riberu Bela, 72 tahun, mengirim surat kepada panitia menolak pentakhtaan Tuan Ma. Tapi Uskup Fransiskus Kopong Kung memutuskan patung harus ditakhtakan. ”Karena sudah dikeluarkan, Mama Muji harus menemani Tuan Ma,” kata Yuliana.
Sikap menjaga tradisi ini sempat menuai kritik. Yan Riberu menduga patung Tuan Ma telah rusak dimakan usia sehingga Konfreria menyembunyikannya. Seorang pastor di Larantuka juga meyakini patung itu telah rusak. Saat mencium jubah Tuan Ma, kepalanya agak masuk ke dalam jubah—tapi tak terbentur apa pun.
Tapi Ketua Konfreria tak mau menuturkan kondisi Tuan Ma. ”Mata melihat, mulut tak bicara,” katanya.
Seorang anggota Konfreria yang ikut mengurus pemindahan dan penjubahan Tuan Ma—sempat menjelaskan hal itu, tapi tak mau disebut namanya. Kepada Tempo, dia membenarkan sejumlah bagian tubuh Tuan Ma telah rusak.
Wajah Tuan Ma seperti menyiratkan dukacita. Matanya sedikit sembap. Bibirnya agak menguncup. Jubah biru tua berornamen kembang putih keperakan membungkus seluruh tubuhnya, hanya menyisakan wajah dan telapak tangan kanan.
Satu codet menggores bagian bawah mata kanan hingga ke dagu kiri. Jidat kanannya memiliki luka. Hidung mancungnya dihiasi noda hitam. Titik-titik kecokelatan tersebar di pipi dan dahi. Telapak tangan kanannya tak mulus lagi, agak kehitaman. Jari-jarinya membengkok dan seperti diselotip. Toh, keanggunannya tak berkurang.
Para peziarah bersimpuh dan berjalan dengan lutut dari pintu depan kapela. Di depan Tuan Ma, mereka mencium bagian bawah jubah yang menyembunyikan alas tandu tempat Tuan Ma didirikan.
Suasana haru menjalar dengan lekas. Sejumlah suster dan umat berderai air mata dalam perjumpaan mereka dengan sang Junjungan. ”Saya begitu bahagia. Ini pertama dan mungkin terakhir kali saya bisa melihat Tuan Ma,” kata Suster Tatiana, seorang biarawati dari Kongregasi Yesus Maria Yoseph.
Pramono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo