Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dentum palu, suara kikir, dan bau lelehan timah menyeruak di salah satu ruang bengkel Jakarta School of Prosthetics and Orthotics, Cilandak Barat, Jakarta Selatan, pekan lalu. Dua belas mahasiswa tingkat akhir tampak sedang mengerjakan kaki palsu yang terbuat dari plastik dan polypropylene.
Di ruang berukuran 6 x 8 meter itu tampak bahan berserakan: mur, baut, penjepit besi, gipsum, lem, dan lainnya. Sebuah papan pengumuman, papan penugasan, berada di sisi belakang ruangan. Sedangkan di sisi dinding lain tergantung belasan baju bengkel berwarna putih dan biru. Tiga dosen ekspatriat terlihat telaten membimbing pembuatan kaki plastik yang mereka kerjakan.
Itulah suasana sehari-hari sekolah pembuatan kaki palsu yang didirikan pada 2009 oleh sejarawan Peter Carey. Mungkin ini satu-satunya sekolah kaki palsu di Indonesia. Menarik bagaimana Peter, Indonesianis asal Inggris itu, memiliki minat mendirikan sekolah pembuatan kaki palsu.
Dalam beberapa tahun terakhir, ia memang terlibat dalam kerja sosial. Ia mulanya bergabung di Yayasan Oxfam untuk mengurus perdamaian di wilayah Kamboja-Thailand. Ia melihat betapa di Kamboja, karena perang saudara pada 1970-an, sampai kini banyak orang buntung yang membutuhkan kaki palsu. Ia kemudian ikut mendirikan lembaga The Cambodia Trust.
Peter lalu menemui pemimpin Kamboja, Hun Sen. Hun Sen meminta lembaga Peter ikut membersihkan Kamboja dari ranjau dan melakukan rehabilitasi. "Hun Sen bilang, jika ada hadiah dari dewa, dua itulah yang diminta," ujar penyuka soto Kudus ini. Peter pun mendirikan klinik Calmette Hospital di Monivong Boulevard, Phnom Penh, pada 1992. Di klinik inilah pembuatan kaki palsu bagi para korban ranjau darat dilakukan. Hingga 1997 mereka menerima murid dari berbagai negara, termasuk dari Indonesia.
Produk kaki palsu buatan The Cambodian Trust juga dikirim untuk penderita cacat di Sri Lanka, Filipina, dan Indonesia. "Di Indonesia ternyata juga banyak orang buntung, makanya saya juga mendirikan sekolah ini di sini," kata Peter.
Peter Carey, kita ketahui, adalah sejarawan yang tertarik meneliti sejarah perang Jawa, terutama sejarah perlawanan Diponegoro. Dari buah pikirannya telah lahir buku The British in Java, 1811-1866: A Javanese Account. Juga beberapa buku yang telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia, Asal-Usul Perang Jawa, Pemberontakan Sepoy, dan Lukisan Raden Saleh. Juga buku tentang Timor Leste, East Timor at The Crossroad: The Forging of Nation.
Bagaimana dia bisa tertarik mempelajari Diponegoro? Peter ingat, saat membolak-balik bahan tentang Indonesia di perpustakaan Universitas Oxford, tiba-tiba matanya tertumbuk pada sebuah gambar. "Ada ilustrasi Pangeran Diponegoro masuk kawasan Meteseh, Semarang. Saya seperti langsung ada kontak. Saya lihat sosok berkuda dengan jubah ini begitu misterius dan menarik perhatian," ujarnya.
Diponegoro begitu memikat Peter, sampai pria kelahiran 30 April 1948 ini pun pergi ke Indonesia. Ia naik kapal dagang menuju Jawa. Sayangnya, rencana ini gagal karena Peter terkena radang usus buntu, yang menyebabkan dia dirawat di Singapura, dan lalu harus pulang ke Inggris. Baru pada 1971 dia menapakkan kaki ke Jawa.
Ketika baru tiba di Yogyakarta, dia bertemu dengan temannya, yang mengajak pergi melihat pertunjukan wayang orang. Kebetulan pertunjukan itu berlangsung di daerah Tegalrejo, bekas rumah Diponegoro. "Ini tanda yang kedua, pertama melihat buku. Begitu tiba di Yogyakarta, belum satu jam sudah ada ‘panggilan’. Seperti mengkonfirmasi bahwa ilmu ini harus didalami," ujar Peter.
Peter lalu tinggal selama dua tahun di Yogya, mendalami berbagai budaya Jawa. Ia menapak tilas kehidupan Diponegoro. "Panggilan" Diponegoro masih terjadi tatkala dia mengunjungi bekas rumah pangeran Tegalrejo itu. Dia mendapatkan buku harian yang ditulis Diponegoro saat di penjara. Buku itu berisi pandangan sang pangeran tentang sejarah, mistik, kecintaan pada tarekat, dan lainnya. Ia lalu menerjemahkan babad Diponegoro itu.
Peter kemudian menghasilkan disertasi tebal mengenai Pangeran Diponegoro, The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and End of an Old Older in Java 1785-1855. Disertasi ini pada bulan-bulan ini diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia. Dari penelitiannya diketahui sosok pribadi pangeran Tegalrejo ini pemimpin saleh dan ahli strategi.
Ada banyak hal menarik dari Pangeran Diponegoro yang diungkap dalam bukunya yang tak pernah kita ketahui sebelumnya. Misalnya mengapa Diponegoro suka mengenakan surban dan kostum putih-putih. Apakah dia seperti Imam Bonjol, yang terpengaruh gerakan Wahabi? "Bukan, Pangeran Diponegoro memakai pakaian begitu karena kagum pada Kesultanan Turki," kata Peter.
Buku Peter juga menjelaskan bagaimana saat Gunung Merapi meletus, manakala semua orang lari menyelamatkan diri, Pangeran Diponegoro justru tenang di rumahnya dan kemudian mengajak senggama istrinya.
Peter kagum dengan perlawanan dan keteguhan hati Diponegoro. Peter menganggap lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro karya Raden Saleh sesungguhnya bisa menjadi ikon negara yang heroik. Maka dia merasa sedih ketika suatu kali melihat lukisan asli Penangkapan Pangeran Diponegoro yang disimpan di Istana Bogor kondisinya sangat mengenaskan. Catnya buram dan bagian pinggirnya terlalu banyak dilipat ke belakang pigura. "Saya kira harus segera direstorasi," kata Peter.
Peter juga dengan senang hati membantu koreografer Sardono W. Kusumo mementaskan Opera Diponegoro. Ia merasa gembira tatkala syair-syair yang ditulis Diponegoro, yang dibahas di disertasinya, dalam opera itu dinyanyikan Iwan Fals.
Siang itu, di Jakarta School of Prosthetics and Orthotics, tiga pasien cacat kaki tengah menjalani perawatan. Mereka belajar berjalan dengan kerangka kaki palsu buatan para siswa.
Sekolah yang didirikan Peter memang sampai kini masih belum bisa berdiri sendiri. Sekolah itu masih menginduk pada Politeknik Kesehatan Departemen Kesehatan Jakarta I. Sekolah ini menempati gedung bekas tempat pelatihan keperawatan. Bangunan dua lantainya terdiri atas ruang kelas, perpustakaan, ruang bengkel, klinik, dan ruang administratif. Sekolah ini kini mempunyai 60 siswa dan 14 pengajar yang sebagian besar ekspatriat dari Australia dan Amerika.
Sore itu Tempo menyaksikan bagaimana dedikasi Peter Carey menolong orang-orang buntung begitu tinggi. Bersama ibu-ibu penggiat posyandu di Kelurahan Cilandak Barat, ia keluar-masuk kampung untuk mencari orang-orang yang cacat kaki. "Ibu-ibu ini yang akan jadi ujung tombak mencari penyandang cacat di daerah ini," ujar pria kelahiran Burma itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo