Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keberatan Kisah Asmara Sarwo Edhie
SAYA berkeberatan dengan pemuatan artikel berjudul "Kisah Asmara Sang Jenderal" yang dimuat dalam edisi khusus Tempo mengenai Letnan Jenderal (Purnawirawan) Sarwo Edhie Wibowo pekan lalu. Menurut saya, tulisan itu tidak relevan dan sumbernya tidak jelas.
Saya berpendirian, persoalan pribadi siapa pun—sepanjang tidak berkaitan dengan kepentingan publik—tidak perlu diberitakan. Pemuatan kisah anak Sarwo Edhie dengan perempuan yang bukan istrinya, menurut saya, tidak pada tempatnya. Tempo tidak punya hak mengungkap hal itu. Media yang memberitakan rahasia kehidupan pribadi seorang figur sudah terjerumus pada jurnalisme gosip dan pseudo-journalism, yang pada dasarnya melanggar prinsip dan etika jurnalistik.
Saya amat prihatin dan kecewa.
Zaky Yamani
Jalan Kanayakan Belakang D-27
>Bandung
Terima kasih atas tanggapan Anda. Tempo memuat kisah itu sebagai bagian dari serangkaian tulisan yang menjelaskan faktor-faktor di balik tersingkirnya Sarwo Edhie dari puncak kekuasaan Orde Baru.
–Redaksi
Gunakanlah Kendaraan Umum
JUMLAH penduduk Indonesia terus bertambah, sehingga negeri ini kian sesak. Kepadatan penduduk Indonesia makin terasa di jalan raya: mobil dan sepeda motor di mana-mana, kemacetan pun tak terhindarkan. Di tengah situasi serba padat semacam ini, para pengguna kendaraan pribadi—terutama mobil—seharusnya beralih menggunakan moda transportasi umum, seperti bus dan kereta api. Tapi tampaknya peralihan ini bukan hal mudah karena menyangkut gaya hidup dan kesadaran seseorang.
Banyak orang memilih tetap bepergian menggunakan mobil pribadi dengan alasan kenyamanan. Meski terjebak kemacetan, setidaknya pengendara mobil pribadi bisa menghibur diri dengan penyejuk udara (air conditioner). Tapi, menurut saya, alasan itu tidak tepat. Kenyamanan para pengguna kendaraan pribadi sebenarnya tak lebih dari kenyamanan semu.
Lihat saja bagaimana para pengguna mobil pribadi menyumbang banyak pada pencemaran lingkungan. Asap dari knalpot kendaraan mereka menyembur ke mana-mana. Pada akhirnya, dampak buruk kualitas udara di kota kita jelas bakal menimpa semua orang—termasuk pengguna mobil pribadi.
Raebella Angesti
Masela Azhari
Tridaya Nuansa Indah,
Tambun Selatan, Bekasi
Sumpah Pemuda, Sumpah Pancasila
SEMUA orang tahu negeri kita terdiri atas berbagai suku, adat-istiadat, dan agama. Tapi perbedaan itu bukan halangan untuk hidup bersama sebagai satu bangsa. Kita punya pedoman dan landasan ideologi bersama, yakni Pancasila.
Segala perbedaan seharusnya mendorong kita semua rajin bersilaturahmi, saling mengenal, dan membangun dialog. Apalagi sejak awal kita sudah sepakat menerima perbedaan sebagai bagian dari kenyataan sosial kita (Bhinneka Tunggal Ika). Persatuan akan makin kokoh jika semua dilandasi prinsip kebersamaan dan toleransi. Perbedaan bukan sumber perpecahan, melainkan justru alat pengikat yang mempertemukan kita semua.
Sumpah Pemuda, yang diperingati setiap 28 Oktober, memberi inspirasi: satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa. Tahun ini penting untuk menambahkan arti Pancasila dalam tiga sumpah itu. Penambahan dua ikrar akan membuatnya menjadi Sumpah Pancasila: satu ideologi (Pancasila) dan satu negara (Negara Kesatuan Republik Indonesia).
Akhmad Syarief Kurniawan
Lembaga Pendidikan Ma'arif-Nahdlatul Ulama
Kotagajah, Lampung Tengah
Takut Truk Kontainer
SAYA tinggal di Jakarta Utara, dekat kawasan Pelabuhan Tanjung Priok. Setiap hari ratusan truk kontainer melintasi kawasan permukiman dan menebar ancaman bagi pengguna jalan yang lalai. Pada Mei lalu, tetangga saya tewas ditabÂrak truk kontainer. Nahasnya lagi, pada hari itu ada tiga kecelakaan beruntun yang berujung pada meninggalnya korban. Ketiganya dipicu oleh truk kontainer.
Saya mengimbau media massa lebih memperhatikan kasus-kasus kecelakaan yang disebabkan oleh truk kontainer di Jakarta Utara. Saking seringnya kecelakaan itu terjadi, media kini jarang memberitakan tabrakan di sana. Tampaknya redaksi media menganggapnya sebagai peristiwa rutin dan biasa. Padahal, tanpa tekanan dari pemberitaan media, para pengambil kebijakan tak akan cepat turun tangan menyelesaikan masalah ini.
Masalah yang ditimbulkan truk kontainer bukan hanya itu. Di Cakung, misalnya, lalu lintas bisa macet berjam-jam, menunggu truk-truk kontainer yang panjang dan besar bermanuver di jalan sempit guna masuk ke kawasan pergudangan di sana.
Ke depan, sebaiknya jam operasi truk kontainer dibatasi. Kendaraan pengangkut raksasa semacam itu juga sebaiknya dilarang masuk jalan umum. Selain berisiko menimbulkan kecelakaan, jalan raya umumnya tidak disiapkan untuk menanggung beban seberat truk-truk jumbo itu.
Nyra Oktaviani Putri
Mahasiswa Fakultas Psikologi
Universitas Bina Nusantara,
Jakarta
RALAT
Pada laporan khusus mengenai Letnan Jenderal (Purnawirawan) Sarwo Edhie Wibowo yang dimuat Tempo edisi pekan lalu, ada dua keterangan usia Sarwo Edhie yang membingungkan. Pada rubrik Opini di halaman 23 dan artikel berjudul "Cerita yang Tak Pernah Terbit", tertulis Sarwo Edhie meninggal pada usia 64 tahun, sementara pada pengantar laporan khusus di halaman 59, berjudul "Jejak Berdarah Sang Pembasmi" tertulis Sarwo menutup mata pada usia 62 tahun.
Yang benar, Sarwo Edhie lahir pada 25 Juli 1927. Tapi pada zaman pendudukan Jepang, dia memalsukan usianya menjadi lebih tua dua tahun agar diterima masuk Heiho. Jadi, usia Sarwo yang resmi ketika meninggal pada 9 November 1989 adalah 64 tahun, tapi usia sebenarnya adalah 62 tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo