Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di dalam ruang kuliah berisi belasan komputer, Hisar Maruli Manurung mengotak-atik laptop di depannya. Beberapa mahasiswa menyalakan laptop pribadi di meja, meski ada layar komputer di setiap bangku. Koordinator Jurusan Ilmu Komputer Universitas Indonesia yang biasa dipanggil Ruli Manurung ini menunggu sejumlah mahasiswanya yang belum masuk kelas dasar-dasar pemrograman yang kerap dianggap sangat susah itu.
Setelah melirik jamnya, Ruli pun berdiri dan memulai kuliah. ”It’s already past 10, we start now,” katanya membuka kuliah dalam bahasa Inggris. Ya, kuliah pada pukul 10 lewat itu memang dijalankan dengan bahasa Inggris. Ruli menjelaskan ihwal membuat program dalam bahasa Inggris. Beberapa kali ia berhenti, menanyakan ini dan itu kepada para mahasiswa, juga dalam bahasa Inggris. Dan mahasiswa menjawab dengan bahasa yang sama tanpa cacat.
Ruli, doktor di bidang komputer, memang mengajar kelas internasional di Jurusan Ilmu Komputer Universitas Indonesia. Di dalam kelas ini, tidak hanya seluruh program digelar dalam bahasa Inggris, tapi nantinya juga para mahasiswa mesti menyelesaikan tiga dari delapan semesternya di University of Queensland, satu dari delapan perguruan tinggi top Australia. Begitu mahasiswa lulus, dua ijazah S-1 sudah didapat, yakni satu dari UI dan satu lagi dari University of Queensland.
Bukan hanya Universitas Indonesia yang membuka kelas jurusan teknologi informasi yang mengharuskan mahasiswa menempuh sebagian kuliah di luar negeri. Universitas Bina Nusantara atau Binus memiliki program serupa. Di universitas ini, mahasiswa malah bisa memilih satu dari tiga universitas di Australia untuk menyelesaikan kuliah, yakni Murdoch University, University of Wollongong, dan Royal Melbourne Institute of Technology (RMIT). ”Paling banyak mereka ambil di RMIT,” kata Raymond Kosala, Ketua Jurusan Ilmu Komputer Binus International.
Kris Antoni, alumnus Binus, memilih Murdoch University. Ada alasan tersendiri. Ia mengatakan RMIT cenderung ke ilmu komputer secara umum. ”Dari awal saya ingin membuat game (komputer),” ujar Kris, pendiri Toge Productions, yang berhasil mendapatkan ratusan juta rupiah lewat game Infectonator. Ia memandang pendidikan game komputer lebih kuat di Murdoch.
Program di Binus sedikit berbeda dengan Universitas Indonesia. Di UI, semua mahasiswa kelas internasional wajib mengambil sejumlah mata kuliah di kampus University of Queensland. Sedangkan di Binus tidak ada keharusan bagi mahasiswa untuk ikut kuliah di Australia. Dalam hitungan kasar Raymond, rata-rata 20 persen yang mengambil beberapa mata kuliah di Australia. Sisanya tetap menyelesaikan kuliah di kampus Binus yang bersebelahan dengan pusat belanja Senayan City, Jakarta Selatan.
Yang sama, baik di Binus maupun di UI, semua kelas digelar menggunakan bahasa Inggris. UI sendiri tidak merasa memiliki masalah dengan kelas yang sepenuhnya menggunakan bahasa Inggris itu. ”Pool pengajar sama dengan yang reguler,” ujar Ruli. Tentu tidak semua bisa langsung mengajar. Setidaknya, kata Ruli, ”Yang mampu mengajar bahasa Inggris.”
Keharusan itu pernah membuat salah satu dosen yang sangat jago di bidang komputer terpaksa tidak lagi mengajar di kelas internasional. Dosen ini mengambil S-3 di Jepang. Meski beberapa kali sang dosen memberikan presentasi di luar negeri dengan bahasa Inggris, sejumlah mahasiswa mengeluhkan bahasa Inggrisnya yang kurang baik untuk mengajar.
Di Binus International, semua dosen kelas internasional memang disyaratkan menyelesaikan S-1 atau S-2, atau keduanya, di luar negeri. ”Pengalaman di luar negeri ini penting,” kata Minaldi Loeis, Dekan Program Internasional Binus. Para dosen itu tidak hanya mendapat kemampuan bahasa di luar negeri, tapi juga memahami perbedaan budaya yang bisa ditularkan kepada para mahasiswanya.
Syarat bahasa Inggris juga penting bagi mahasiswa. Di Binus, semua mahasiswa saat masuk minimal memiliki nilai TOEFL 550. Jika nilainya di bawah itu, mahasiswa wajib mengikuti kelas khusus bahasa Inggris selama dua bulan agar tidak kepayahan mengikuti perkuliahan.
Begitu pula di UI. Mereka yang masuk sudah memiliki dasar bahasa Inggris yang bagus. ”Saya dulu ikut kursus di LIA (salah satu tempat kursus bahasa Inggris terkenal) dari kelas II SMP sampai III SMA,” kata salah satu mahasiswa, Mohammad Gazza Ashari.
Dengan nilai setinggi itu, kadang mahasiswa masih mendapat masalah. Bayu Dhanubroto, mahasiswa Binus yang sedang kuliah di RMIT, menyebut sulitnya belajar matematika di Australia. ”Soalnya, bahasa Inggris yang dipakai di matematika bukan bahasa Inggris yang umum,” ujarnya. ”Jadi suka bingung kalau dosen istilah-istilah matematika bahasa Inggris.”
Meski begitu, belum pernah ada mahasiswa yang gagal karena soal bahasa di Australia. Binus mencatat baru satu mahasiswa yang gagal di Australia setelah satu semester di sana. ”Ia mendapat masalah keluarga,” kata Raymond. Yang jelas, ia kemudian kembali ke Jakarta, tapi tidak berhenti kuliahnya.
Sedangkan di UI, ada sesekali masalah yang dialami mahasiswanya di luar negeri. Pernah dua mahasiswa mendapat nilai jeblok di University of Queensland. Mereka kemudian mencari akal dan pindah kampus ke perguruan tinggi lain di Queensland yang tak terlalu top. Nilai dari UI rupanya diterima di kampus itu dan mereka kemudian bisa lulus S-1 dari universitas tersebut. Tapi, karena UI belum bekerja sama dengan kampus itu, nilainya tidak diterima UI. ”Jadi mereka mendapat gelar dari (universitas kurang top) Australia, tapi tidak mendapat gelar dari UI,” kata Ruli Manurung.
Umumnya mahasiswa tidak bermasalah. ”Malah ada yang di sini prestasinya mengkhawatirkan tapi di sana nilainya sangat bagus,” ujar Ruli. ”Mungkin ia sadar orang tuanya mengeluarkan uang sangat banyak di Australia sehingga ia belajar lebih keras.”
Tapi, namanya jurusan komputer, mata kuliah paling susah adalah dasar-dasar pemrograman di semester pertama seperti yang diajarkan Ruli. Saat masih di sekolah menengah atas, para mahasiswa ini hanya belajar menggunakan program, bukan membuatnya. Di jurusan komputer, mereka mesti membuatnya. ”Pertama kali dapet pelajaran programming, menurut saya pribadi, susah buat ngikutin,” kata Bayu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo