Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font size=2 color=#FF0000>Stephen Oppenheimer: </font><br />Asia Tenggara Adalah Sumber Peradaban Barat

13 Desember 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ARKEOLOG bukan, geolog pun bukan. Stephen James Oppenheimer adalah dokter ahli genetika yang menyelesaikan jenjang doktoral di Universitas Oxford. Sekitar empat dasawarsa silam, ia mulai tertarik pada peradaban manusia prasejarah. Dua belas tahun lalu, ia menghasilkan Eden in the East, karya kontroversial yang menyatakan Indonesia sebagai awal peradaban dunia.

Oppenheimer menjawab pertanyaan wartawan Tempo Pramono tentang isi bukunya, yang baru saja diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia itu.

Latar belakang Anda dokter. Mengapa Anda tertarik pada sejarah migrasi manusia?

Saat berada di Papua Nugini menjelang 1980, saya tertarik pada asal-usul manusia seperti ditulis kitab Kejadian. Pada 1979, saya melakukan penelitian tentang anemia kekurangan zat besi pada anak-anak di pantai utara Papua Nugini. Saat itulah saya melihat perbedaan genetis dalam darah anak-anak di desa tertentu yang dalam mitos disebut sebagai keturunan Kulabob dan Manup. Anak-anak keturunan Kulabob saya lihat lebih tahan terhadap malaria. Saya melihat mutasi genetis pada anak-anak Kulabob ini mengakibatkan mereka tahan terhadap malaria.

Apa artinya mutasi genetis itu?

Saya melihat mutasi genetis anak-anak Kulabob ini menampilkan tanda-tanda jejak imigrasi orang Polinesia ke Pasifik. Sementara itu, keturunan Manup adalah keturunan orang Papua asli yang telah bermigrasi ke Papua Nugini jauh lebih awal, selama Zaman Es. Saat itulah saya mulai bertanya apa yang telah mendorong orang-orang kuno Asia Tenggara meninggalkan kampung halaman yang subur dan berlayar ke perairan Pasifik, sekaligus meninggalkan jejak genetis, budaya, dan bahasa di sepanjang pantai utara Papua Nugini dalam perjalanan mereka ke timur.

Dalam Eden in the East, Anda menyebut soal banjir yang membuat orang kuno Asia Tenggara tersebar ke mana-mana. Bagaimana Anda bisa sampai pada soal banjir itu?

Pada 1993, saya terbang ke Manila. Saat itu saya tertarik pada pameran arkeologi maritim. Kurator museum bercerita tentang kisah banjir yang dimiliki suku-suku di Filipina. Belakangan saya mulai sadar, ada kemungkinan sebuah banjir di paparan benua Asia Tenggara meluas pada akhir Zaman Es. Ini bisa menjadi penyulut yang mengirim penduduk tepi pantai tersebar ke Pasifik ribuan tahun silam. Dalam penyebaran itu, sangat mungkin mereka membawa berbagai kebudayaan. Saya membaca soal topik ini terus-menerus. Semakin banyak membaca, saya makin menemukan banyak bukti tentang asal-usul Pasifik. Setelah itu, saya mulai melirik oseanografi dan arkeologi untuk menggali bukti.

Bagaimana dengan Paparan Sunda?

Saya percaya, Asia Tenggara adalah sumber peradaban Barat. Saya percaya sebagian besar nenek moyang Polinesia lahir di Melanesia dan Asia Tenggara yang dulunya adalah benua sangat besar yang disebut dengan Paparan Sunda. Sebagian besar garis gen di Polinesia pada dasarnya berasal dari Paparan Sunda lebih dari lima ribu tahun lalu. Banjir di Paparan Sunda menjadi penyebab mereka berlayar ke Pasifik. Saya juga yakin orang Polinesia memulai penyebaran Pasifik besar dari Asia Tenggara, bukan Cina. Lalu berbagai kaitan cerita rakyat menegaskan hubungan Timur-Barat dalam masa prasejarah, sekaligus menjadi dasar banyak mitos dan cerita rakyat Barat.

Anda berpendapat Asia Tenggara bukan hanya cabang sekunder dari peradaban Asia di Cina dan India?

Ya, Asia Tenggara adalah daerah dengan budaya yang paling beragam, paling tua, dan paling kaya di bumi. Pandangan Asia Tenggara sebagai cabang sekunder terlalu menyepelekan, tidak pada tempatnya, dan tidak memperhatikan bukti masa lalu.

Bagaimana tanggapan kolega Anda terhadap Eden in the East?

Ada cukup banyak tanggapan positif terhadap buku saya. Sebagian arkeolog percaya pada bukti yang saya ajukan. Ada juga arkeolog yang tetap yakin orang Indonesia berasal dari Taiwan. Tapi sekarang sejumlah arkeolog juga menunjukkan bukti keterampilan lokal, seperti berlayar dan menangkap ikan, telah ada sepuluh ribu tahun lalu, dan bertanam di Indonesia sudah ada lebih dari empat ribu tahun lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus