Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
APA itu, Gung?" tanya Mohammad Baedowy kepada Agung, salah satu karyawannya, yang menyopirinya pada Selasa pekan lalu. Bos Majestic Buana Group itu terkejut mendengar bunyi dredet tatkala Toyota Fortuner metalik anyar tunggangannya melintasi jalan tol Bogor-Jakarta siang itu. Ternyata mobil melindas garis marka jalan yang bertakik-takik.
Mobil itu baru empat bulan terakhir nongkrong di depan rumah Baedowy, bangunan bertipe 21 di kompleks Dukuh Zamrud, Bekasi, Jawa Barat. Sebuah Volvo dan Kijang Innova sudah lebih dulu di sana. Satu unit rumah berukuran tiga kali lipat rumahnya saat ini juga hampir rampung. Letaknya cuma sepuluh menit berjalan kaki di kompleks yang sama.
Rumah baru ini disebutnya berarsitektur ekstrem minimalis: bentuknya kotak-kotak, hampir tanpa pagar, sebuah tangga beton menjulur dari ruang tamu di lantai dua ke bibir jalan, serta tanpa genting karena beratap dak beton. Nilainya? "Satu miliar lebih," kata lelaki ini kalem. Ia juga sedang mengincar lahan seribu meter persegi, satu meternya sekitar Rp 1 juta, yang menjadi tempat pabrik pencacahan botol plastiknya beroperasi selama ini di Kelurahan Cimuning, Bekasi.
Semua ini simbol "becek"-nya bisnis pencacahan botol plastik bekas yang ditekuninya sepuluh tahun terakhir. Bekas auditor keuangan di Royal Bank of Scotland ini memilih menggarap jenis polyethylene tereththalate, yang biasa digunakan sebagai botol air mineral. Para pengepul plastik bekas menamai botol ini bodong, karena bagian bawahnya cekung ke dalam layaknya bodong atau pusar manusia.
Kenyamanan hidup ini datang setelah proses berliku yang hampir mentok pada penyesalan mendalam. Sempat mendapat tawaran bekerja di perusahaan perminyakan di Kalimantan lewat koneksi, ia lebih memilih bekerja di bank asing itu. Tiga tahun bekerja di sini, ia bentrok dengan atasan. Lima pekerjaan yang ditinggal pegawai korban rasionalisasi harus dia kerjakan. "Tapi bayarannya cuma untuk satu pekerjaan."
Dia merasakan tak ada balasan apa pun dengan datang ke kantor pagi dan pulang lewat tengah malam. Merasa diperlakukan tidak adil, Baedowy, saat itu 27 tahun, memutuskan hengkang pada 2000. Lantaran kesal, ia menendang tempat sampah di ruang kantor sang atasan, sembari melontarkan ajakan berkelahi. "Saya tunggu di parkir," katanya geli, menirukan ucapannya.
Berhenti jadi pegawai, Baedowy teringat ucapan seorang tamu hotel seberang kantornya di kawasan Sudirman, Jakarta Selatan, pada suatu siang. Tamu itu seorang lelaki tua bercelana pendek yang asyik bersantap siang. Baedowy yang berjas dan berdasi merasa kalah gaya. Penasaran, ia menanyakan bisnis si lelaki tua, yang dijawab singkat: "Bisnis sampah." Dia pun membulatkan tekad. Saat itu dia sudah beranak dua dan masih bayi.
Lelaki kelahiran Balikpapan ini lalu menjajal bisnis pengepul benang nilon kusut, sambil melirik bisnis jangkrik yang sedang booming. Tak beruntung, ia mulai menggarap bisnis pengolahan botol plastik bekas. Tiga orang preman sempat mema-laknya saat sedang mengumpulkan botol bekas di pinggiran Kota Bekasi. Tangan kanannya sempat terkena sabetan pisau. "Mereka saya kejar sampai ke sawah," kata pria yang kerap berkelahi ketika masih SMA ini.
Modal awal bisnis pencacahan botol bekas sekitar Rp 50 juta, yang sebagian besar milik rekan bisnisnya. Mencoba setahun, bisnis pencacahan tertatih-tatih. Mesin rusak melulu, dan bahan baku seret. Awal 2001, bisnisnya kolaps. Dicemberuti orang tua yang menjenguk, ia sempat memulangkan sang istri ke Malang untuk menghemat biaya hidup.
Tiga bulan ia memasang plakat "Pabrik Dijual". Tak laku. Saat di titik nadir ini, Baedowy sempat menggugat Tuhan dan mengimingi-Nya perbuatan baik jika diberi kesuksesan. Ia mulai nelangsa teringat kenyamanan sebagai karyawan. "Saya sangat menyesal berhenti waktu itu," katanya. Sebuah curriculum vitae kembali disusunnya, meski tidak sempat dikirim untuk melamar.
Semangat berusaha Baedowy muncul kembali. Ia mulai sibuk mengoprek-oprek mesin penggilingan yang ringsek itu. Beberapa bengkel mesin bubut di sekitar Rawapanjang, Bekasi, dijabaninya untuk mencari onderdil bekas. Ia pun merutuki desain mesin pencacah miliknya, sambil secara otodidak merancang ulang bagian demi bagian.
Alhasil, ia membuat mesin pencacah sendiri, yang terdiri atas tiga ukuran. Produksi penggilingan botol plastik mulai bergulir. Usahanya mulai mencuat sewaktu didatangi wartawan ketika riuh penutupan tempat pembuangan sampah akhir Bantar Gebang. Maklum, sebagian suplai bodong diambilnya di sini. Dari pemberitaan itu, satu per satu pembeli datang dan menaksir mesinnya. Akhir 2001, mesin mulai laku plus hasil gilingannya semakin banyak dan bersih.
Dari sini, Baedowy mengembangkan mitra kerjanya, sebagai pembeli mesin dan penyuplai hasil gilingan. Para pembeli mesin gilingnya berhak menjual hasil gilingannya ke Majestic Buana. "Dan saya wajib membeli," katanya sambil menunjuk surat perjanjian kerja sama. Pasar Cina yang berkembang pesat menelan berapa saja ekspor cacahan plastiknya. Soal omzet, ia enggan menyebut. Namun ia mengatakan jumlah ekspor per pekan sekitar dua kontainer dengan penjual mesin minimal dua buah per bulan.
Ita, 40 tahun, warga Bekasi yang membuka usaha penggilingan di Purwakarta, menjadi salah satu mitranya dari sekitar seratus mitranya sekarang. "Saya juga mendapat bantuan pelatihan dan pemasangan mesin secara gratis," katanya. Hasil gilingan Ita dijual ke Baedowy dengan harga pasar.
Regina Pacis, sekolah swasta di Bogor, kepincut membeli mesin pencacah seharga Rp 40-an juta. "Kami ingin mengajari siswa bahwa kebersihan juga bisa menguntungkan," kata Suster Cecilia Hartati. Hasil cacahan para siswa dibeli Baedowy secara komersial.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi pun mempercayainya membuat mesin injection plastik. Adapun Pemerintah Daerah Jawa Barat memasukkan namanya menjadi satu dari tiga usaha kecil menengah yang akan diusulkan untuk penghargaan lingkungan Kalpataru tahun depan. Baedowy punya nasihat untuk para karyawan. "Segera buka usaha sendiri, deh."
"BPPT telah menjalin kerja sama selama tiga tahun terakhir dengan Pak Baedowy, termasuk pembuatan mesin blowing. Kami mempercayainya untuk merancang mesin injection karena selama ini perusahaan di dalam negeri hanya mampu mengimpor. Kami bekerja sama dengan Pak Baedowy untuk membuat mesin injection yang lebih sederhana karena semangatnya dan mau mencoba."
-I Nyoman Artana, Anggota staf bidang teknologi industri dan manufaktur dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo