Banyak yang lupa Indonesia pernah punya "presiden" selain Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto. Apa jadinya kalau PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) dengan "Ketua" Sjafruddin Prawiranegara tak sempat dibentuk? Bung Karno dua kali mengecewakan, karena menyerah pada Belanda dan melecehkan PDRI. Apakah Almarhum Sjafruddin seorang pembelot atau pelaksana mandat yang bersih? BOM menghantam Yogya. Bom juga mengguyur Bukittinggi. Empat pesawat Catalina telah mendarat ke permukaan air Danau Singkarak. Itu terjadi di Indonesia -- republik yang saat itu masih terbilang imut-imut -- pada tanggal 19 Desember 1948. Semua itu sekarang menjadi sejarah. Murid-murid sekolah mengenal peristiwa itu sebagai Agresi Belanda II. Mungkin mereka juga tahu bahwa Presiden dan Wakil Presiden saat itu, Bung Karno dan Bung Hatta, pernah bertekuk-lutut pada Belanda. Yakni beberapa jam saja sesudah kota Yogya jatuh. Dua pemimpin itu lalu diasingkan ke Bangka. Kemudian menyusullah perjanjian Roem-Royen yang diukir jelas dalam buku pelajaran sejarah. Tetapi berapa banyak siswa yang mengenal, apa yang disebut PDRI -- Pemerintah Darurat Republik Indonesia? Siapa pula yang ingat bahwa Indonesia pemah punya "presiden" selain Soekarno dan Soeharto? Catatan sejarah nampaknya memberi tempat yang kurang dari proporsi semestinya terhadap peristiwa itu. Sekarang PDRI menjadi tak lebih dari sekadar kenangan para pelakunya sendiri. Nyaris bukan sebagai bagian sejarah dalam upaya menegakkan republik ini. Dua pekan silam, Mr. Sjafruddin Prawiranegara telah pergi untuk selama-lamanya. Dialah "presiden" itu. Almarhum boleh jadi meninggal dengan tenang. Dengan kata lain, ia tak punya obsesi soal pemerintahan yang dahulu pernah dipimpinnya. Tetapi meninggalnya "orang pertama" tersebut adalah sebuah kehilangan bagi upaya memperjelas arti PDRI, yang hingga kini masih tersaput kabut. Sementara itu, para pelaku lain juga kian uzur. Bukan tak mungkin, kelak, peristiwa itu akan menjadi titik yang terus menciut dalam sejarah nasional Indonesia. Sejarah menegakkan Republik Indonesia, kini, memang bisa diceritakan sambil menikmati kelezatan pizza. Tetapi perjuangan para perintis kemerdekaan Indonesia, ternyata, bukan main sulitnya. Kalangan muda mungkin membayangkan: Indonesia langsung punya pemerintahan yang kuat dan efektif, begitu Bung Karno membaca teks proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945. Ternyata, tidak. Belanda, yang benar-benar tak mau begitu saja melepaskan Indonesia, dua kali berupaya mendudukinya kembali -- dikenal sebagai Agresi Belanda I & II -- persis seperti yang dihafal anak-anak sekolah sekarang kalau mau tes sumatif. Tetapi apakah kawula muda menyadari betapa sulitnya keadaan saat itu? Belum lagi para pemimpin kemerdekaan sendiri terus bersitegang (karena sama-sama belum berpengalaman punya negara) tentang bagaimana caranya menjalankan negara ini setelah diproklamasikan. Dalam kemelut tahun 1948, ibu kota Indonesia adalah Yogya. Bung Karno pun berada di sana. Bung Hatta, yang sedang berada di Bukittinggi, telah dipanggil untuk datang ke Yogya. Kalangan militer, di bawah komando panglima besarnya -- Jenderal Sudimman, bersiaga. Situasi dianggap telah begitu rawan. Ternyata, benar: perang pun pecah. Penduduk Yogya mungkin masih bermalas-malasan Minggu pagi itu. Jarum pendek jam baru menunjuk sekitar angka enam. Tiba-tiba bom berhamburan menjambreti nyawa. Mereka yang tengah asyik menikmati kopi terlonjak. Tahu-tahu Yogya sudah jadi neraka. Khususnya lapangan terbang Maguwo. Pesawat-pesawat Belanda terus membombardirnya. Yang tragis, dalam sekejap saja, Belanda sudah berhasil menguasai Kota Gudek itu sepenuhnya. Dari peristiwa itulah pemerintahan darurat, dan persoalan yang melingkupinya, bermula. Di sanalah Bung Karno mengecewakan kawan-kawan sejawatnya: ia menyerah. Padahal, militer sudah siap untuk terus bertempur sampai titik darah terakhir. Dalam keadaan seburuk apa pun. Demikian juga sikap banyak politisi, terutama yang saat itu ada di Sumatera. Seperti ditulis Ajip Rosidi dalam biografi Sjafruddin, "Ia (Sjafruddin) tidak percaya Presiden menyerah dan bersedia untuk ditangkap musuh karena ia pernah mendengar sendiri kata-kata Bung Karno yang menyatakan bahwa apabila ibu kota Yogyakarta diduduki musuh, maka sebagai Presiden beliau akan terus memimpin pemerintahan secara bergerilya di pedalaman bersama Panglima Besar Sudirman." "Apa yang bakal terjadi pada negara Indonesia, bila tak ada PDRI?" tanya para pendukungnya. Apakah Indonesia masih menjadi negara? Sebab, secara defacto, pemerintah pusat sudah menyerah. Padahal, kesepakatan dunia, yang namanya negara harus punya pemerintahan. Mungkin pertanyaan begitu berlebihan. Tetapi jelas keadaan pasti memburuk, sekiranya pemerintahan yang dipimpin Sjafruddin itu tak sempat dibentuk. Namun, sebaliknya, upaya mengecilkan arti PDRI pun mudah dilakukan. Bung Karno sendiri melecehkannya. Menyusul tindakan kedua Bung Karno, yang mengecewakan banyak pemimpin lain. Dalam status "dibuang ke Bangka", pemimpin reuolusi itu memberi mandat pada Mr. Mohamad Roem. Roem harus berunding dengan Belanda buat menentukan masa depan Indonesia. Putusan Bung Kamo itu dilakukan sepihak. Tanpa konsultasi dengan Sjafruddin atau pemimpin PDRI lainnya. Bung Kamo dapat dibenarkan bertindak sepihak kalau saja Sjafruddin dan PDRI-nya terbukti pembelot dari jalur konstitusi. Sjafruddin bukan Kartosuwirjo. Ia dilimpahi mandat untuk membentuk pemerintahan darurat sementara Kartosuwirjo jelas bertindak atas keyakinan sendiri. Ia menolak menyerahkan Jawa Barat pada Belanda, ketika pasukan Siliwangi yang lain bersedia hijrah ke Yogya -- biarpun sama-sama kesal dengan "perjuangan diplomasi" kaum politisi yang mengabaikan militer. Anggapan bahwa seolah PDRI rada-rada menyimpang dari alur konstitusi, agaknya, malah muncul belakangan. Yakni berpangkal dari salah satu versi kelahiran PDRI. Menurut versi ini, Sjafruddinlah yang berinisiatif mendirikan pemerintahan darurat. Tanggal 19 Desember 1948 itu, Sjafruddin melontarkan gagasannya. Begitu juga menurut Teuku Mohammad Hasan, Wakil Ketua PDRI. Walaupun buku Sekitar PDRI tulisan Mr. S.M. Rasjid juga menyebut versi Hidayat: Sjafruddin membentuk pemerintahan darurat itu "atas dorongan Kapten Islam Salim yang menjadi ajudan Hidayat." Hidayat adalah kolonel yang dalam struktur PDRI menjadi Panglima Tentara Teritorial Sumatera (PTTS). Sjafruddin, Hasan, dan sejumlah tokoh lain sudah berkumpul di Halaban. Kota kecil 15 km dari Payakumbuh. Mereka menunggu Rasjid, Residen Sumatera Barat, dari Bukittinggi. Lewat tengah malam, sudah masuk hari Rabu tanggal 22 Desember, Rasjid pun datang. Ia membawa kabar bahwa Bukittinggi mungkin jatuh ke tangan Belanda hari itu juga. Pada dinihari itu semua lalu berkumpul. Mereka membahas segala kemungkinan yang akan terjadi, dan apa yang harus dilakukan. Termasuk tentang kemungkinan jika Bung Karno dan Bung Hatta ditawan. Mereka belum tahu bahwa dua pemimpin itu memang sudah ditawan Belanda. Pukul 03.40, mereka memutuskan untuk membentuk pemerintahan darurat. Sjafruddin ketika itu adalah Menteri Kemakmuran. Ia datang ke Bukittinggi untuk mengecek kemakmuran di Sumatera Barat. Transportasi tentu tak semudah sekarang. Tak ada pesawat atau bis yang mondar-mandir Sumatera Jawa. Tak ada telepon yang setiap saat bisa berdering, buat menghubungkan menteri dengan presidennya. Satu-satunya jalan memonitor setiap siaran radio. Nah, dari radio itu pulalah tokoh-tokoh di Sumatera tahu bahwa keadaan genting. Yogya sudah dikuasai musuh. Tetapi tak seorang pun di antara mereka yang sudah mendengar kabar tentang nasib Bung Karno dan Bung Hatta. Boleh jadi pemerintah pusat macet. Padahal, bukankah "bukan negara bila tanpa pemerintahan." Ini alasan Sjafruddin dan kawan-kawan buat mendirikan PDRI. Bila mendasarkan pada versi itu saja, PDRI bisa dikatakan tidak sah. Sjafruddin bisa disebut pembelot. Bung Karno boleh menunjuk Roem, buat berunding dengan Belanda, tanpa harus konsultasi dengan PDRI. Tetapi Bung Karno sendiri juga memberi mandat agar membentuk pemerintahan darurat. Mungkin kebetulan mungkin pernah ada pembicaraan sebelumnya -- mandat juga dilimpahkan pada Sjafruddin. Padahal, Sjafruddin juga berinisiatif sendiri membentuk PDRI. Lihatlah kawat tertanggal 19 Desember 1948 itu: Kami Presiden Republik Indonesia memberitahukan bahwa pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 jam 06.00 pagi, Belanda telah mulai serangannya atas ibu kota Yogyakarta. Jika dalam keadaan pemerintah tidak dapat menjalankan kewajibannya lagi, kami menguasakan kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran Republik Indonesia, untuk membentuk Pemerintah Republik Indonesia Darurat di Sumatera. Yogyakarta, 19 Desember 1948 Presiden (Soekarno) Wakil Presiden (Mohammad Hatta) Sebuah kawat juga diketukkan ke New Delhi. Buat Mr. A.A. Maramis dan kawan-kawan sedang ada di sana. Kawat itu juga mengabari bahwa Belanda menyerang Yogya. Lalu jika ikhtiar Mr. Sjafruddin Prawiranegara membentuk Pemerintah Darurat di Sumatera tidak berhasil, kepada Saudara dikuasakan untuk membentuk Exile Government Republik Indonesia di New Delhi. Harap dalam hal ini berhubungan dengan Mr. Sjafruddin di Sumatera. Jika hubungan tidak mungkin, harap diambil tindakan-tindakan seperlunya. Dan itu putusan resmi pemerintah yang sah walaupun, menurut kalangan PDRI, kawat itu tak pernah sampai pada mereka. Sebelum kota Yogya jatuh, kabinet ternyata mengadakan sidang lengkap. Pembentukan pemerintahan darurat itulah putusannya. Namun, bahwa Bung Karno menyerah begitu saja, itulah yang menjadi peluru kekecewaan. Terutama bagi Jenderal Sudirman, yang memegang janji Bung Karno untuk terus bergerilya. Itu sebabnya, selain karena menghormati mandat, Jenderal Sudirman jatuh hati pada PDRI. Jenderal Sudirman bergerilya hingga pelosok-pelosok Jawa Timur. Sjafruddin dan kawan-kawan pun demikian. Mereka terus berkelana di pedalaman Sumatera Barat -- sebagian di antaranya malah sampai Banda Aceh -- menghindari Belanda yang sudah menduduki Bukittinggi. Berkali-kali kedua pihak di dua pulau berbeda itu, saling kontak. Kekecewaan keduanya terhadap Bung Karno makin kuat, setelah perjanjian Roem -- Van Royen. Bagi PDRI, kekecewaan itu tentu karena Bung Karno mengabaikan PDRI, tidak menaati mandat yang dibikinnya sendiri. Bagi Jenderal Sudirman, yang juga menjadi pokok masalah adalah perjanjian itu sendiri. Yakni bahwa perang gerilya harus berhenti. Juga adanya ketentuan untuk membentuk Republik Indonesia Serikat. Karena itulah, Jenderal Sudirman mengirim radiogram pada PDRI tanggal 25 April 1949, yang bernada tak enak. Dalam tulisan Rasjid poin lima berita itu berbunyi: Minta keterangan apakah orang-orang yang masih ditahan (dalam tahanan) atau pengawasan Belanda berhak berunding, lebih-lebih menentukan sesuatu yang berhubungan dengan politik untuk menentukan status negara kita, sedangkan telah ada Pemerintah Pusat Darurat yang telah diresmikan sendiri oleh Presiden ke seluruh Dunia pada tanggal 19 Desember 1948. PDRI tak bisa tidak harus menanggapi perjanjian yang disebut-sebut "mengecewakan" itu. Tanggal 14 Juni 1949, mereka mengadakan rapat paripurna kabinet di Sumpur Kudus. Ketika itu mereka (terpaksa) bersepakat mendukung parjanjian Roem-Royen, dengan sejumlah persyaratan. Tetapi hubungan PDRI dengan Bung Karno/Hatta sudah telanjur tak enak. Usai perjanjian itu, Bung Hatta berupaya benar untuk menjembatani jurang antara pemberi dan yang diberi mandat. Ia tidak tahu persis di mana para tokoh PDRI berada. Ia menduga Sjafruddin berada di Aceh. Maka, terbanglah Hatta ke Aceh. Namun, Hatta hanya bersua dengan pemimpin dan rakyat setempat. Di antaranya dengan Daud Beureueh -- Gubernur Militer Daerah Aceh. Toh perjalanan yang nampak sia-sia itu ada gunanya juga. Sjafruddin menilai, Hatta memang sungguh jngin berbaik-baik dengannya. Bulan berikutnya Soekarno/Hatta menugasi Natsir, Leimena, dan Halim ke Sumatera Barat. Natsir adalah kawan dekat Sjafruddin. Pembicaraan pun berjalan lancar. Mereka meminta agar Sjafruddin segera kembali ke Yogya. Sjafruddin pun ingin segera mengembalikan mandat. Selain hal itu menjadi keinginannya semula, semua sepakat bahwa "daripada mandat itu dicabut, lebih baik dikembalikan." Tanggal 10 Juli 1949, berangkatlah Sjafruddin ke Yogya. Saat itu pula, ia menyerahkan mandat yang disandangnya selama delapan bulan di perkampungan dan hutan-hutan Sumatera Barat. Dengan bijak, Hatta mencoba mendinginkan hati orang-orang PDRI, soal mengapa ia dan Bung Karno melangkah sendiri buat berunding dengan Belanda. Masalahnya, menurut Hatta, pihak luar sulit mengontak PDRI. Saat ini, genap 40 tahun usia pemerintah darurat. Beberapa waktu lalu, Teuku Mohammad Hasan dan orang-orang PDRI menghadap Presiden. Mereka mengharap agar pemerintah mengadakan peringatan itu. Tetapi, menurut Hasan, Presiden nampaknya tak setuju. Yang disetujui adalah penyelenggaraan Seminar Clash II. Tampaknya, lingkupan kabut masih akan tetap melingkupi PDRI. Mungkin orang alergi pada nama Sjafruddin. Sebab, Sjafruddin kemudian hari sempat menjadi "presiden PRRI". Menurut Sjafruddin, ia memimpin PRRI karena ingin mengembalikan Soekarno pada rel konstitusi, dengan kata lain: menolak Nasakom.Zaim Uchrowi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini