Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Chairil Anwar di Zaman Kesemuan

Di zaman yang merayakan kesemuan ini, Chairil Anwar adalah suara kesejatian yang mengetuk pintu kesadaran kita.

6 November 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CHAIRIL Anwar tahun ini berusia satu abad. Dia diakui sebagai penyair terbesar yang karyanya merevolusi puisi modern Indonesia hingga berkembang menjadi seperti yang kita kenal sekarang. Puisi-puisinya tiada henti mengilhami bergenerasi-generasi penyair Indonesia sesudah dia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Chairil dikenal sebagai penyair yang hidupnya bernapaskan api individualisme. Dia tercatat dalam biografi sebagai sosok ultraindividualis. Ego Chairil begitu besar sampai-sampai dia, seperti dicatat kritikus sastra Hans Bague Jassin, “dalam kehidupan sehari-hari tidak menghiraukan ‘kata orang’—kecuali barangkali tentang sajak-sajaknya”. Chairil mengabdikan diri habis-habisan untuk puisi, tak mau dikungkung-kekang oleh apa pun, nekat menjalani gaya hidup bohemian sebagai gelandangan intelektual di Jakarta pada 1940-an.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kita perlu membedakan antara individualisme Chairil dalam kehidupan pribadi dan individualisme dalam puisinya. Dalam puisi Chairil, individualisme beririsan dengan pandangan tentang kemustahilan membentuk ikatan kekitaan. Puisi Chairil menyingkapkan wajah individualisme berwujud “aku” yang tercipta dari penerimaan heroik, meskipun tragis, atas kemustahilan atau ketiadaan “kita”. Kekitaan, ikatan kebersamaan antara “aku” dan “kau” yang membentuk “kita”, adalah semu belaka. Yang nyata hanyalah “aku” yang kedap dan terisolasi. “Aku” yang tetap sendirian meski dalam kebersamaan.

Apa arti individualisme Chairil Anwar di zaman kita?

Individualisme Chairil dalam kehidupan pribadi, berupa ego segede gajah yang ditopang gaya hidup bebas dan acak-acakan, tentu tidak relevan lagi dengan semangat zaman sekarang. Unsur individualisme personal Chairil yang masih bagus diteladankan mungkin hanya semangat membara untuk serius menekuni bidang pilihan sendiri dan selalu berusaha merintis jalan kreatif baru. Namun ketekunan itu pun di zaman sekarang mungkin tidak maksimal hasilnya jika dilakukan dengan sikap individualistis. Alih-alih menghendaki semangat individualistis, zaman kita lebih menuntut semangat kolaboratif.

Di sisi lain, individualisme dalam puisi Chairil Anwar bisa mengajarkan sesuatu yang penting bagi kita di zaman sekarang. Puisi Chairil memperlihatkan individualisme yang berkeras berdiri di seberang kolektivisme, meski harus menanggung pedih-perih.

Apakah individualisme dalam puisi Chairil adalah pendirian antikolektivitas? Paham egosentris yang memusuhi kebersamaan?

Mari kita baca puisi “Pemberian Tahu”.

Bukan maksudku mau berbagi nasib,
nasib adalah kesunyian masing-masing.

Kupilih kau dari yang banyak, tapi

sebentar kita sudah dalam sepi lagi terjaring
.
Aku pernah ingin benar padamu,

Di malam raya, menjadi kanak-kanak kembali,

Kita berpeluk ciuman tidak jemu,
Rasa tak sanggup kau kulepaskan.

Jangan satukan hidupmu dengan hidupku,

Aku memang tidak bisa lama bersama

Ini juga kutulis di kapal, di laut tidak bernama!

Dalam puisi tersebut, “aku” mulanya ingin membentuk ikatan kekitaan dengan “kau”: Aku pernah ingin benar padamu. Namun, ketika sudah terbentuk, ikatan kekitaan itu ternyata semu belaka: Kupilih kau dari yang banyak, tapi sebentar kita sudah dalam sepi lagi terjaring. Ada “kita”, tapi tidak ada kebersamaan. “Kita” tidak ada artinya. Maka “aku” pun memilih kesejatian dengan memutus ikatan kekitaan: Jangan satukan hidupmu dengan hidupku. “Aku” mengakui kemustahilan “kita”: Aku memang tidak bisa lama bersama.

Puisi “Pemberian Tahu” memberitahukan bahwa individualisme dalam puisi Chairil tidak identik dengan sikap antikolektivitas. Ia tidak mengajarkan sikap antisosial. Yang ditolaknya bukan ikatan kebersamaan, melainkan ikatan kebersamaan yang semu. Ikatan kebersamaan tanpa kebersamaan. Ia menolak kesemuan dan kepalsuan “kita”.

Individualisme dalam puisi Chairil terdengar mengajarkan kepada kita untuk bersikap kritis dan waspada terhadap klaim dan manipulasi yang mengatasnamakan ikatan kekitaan. Populisme, misalnya. Atau kampanye politik. Atau manuver apa pun yang ingin menjaring individu agar bergabung dan bergerak dengan orang banyak.

Bukan berarti individu tidak usah menjadi bagian dari kolektivitas apa pun. Namun, ketika memutuskan masuk ke himpunan, individu harus sadar akan kepentingan dirinya. Kolektivitas yang ia masuki harus berarti baginya. Sebab, pada akhirnya, yang dipertaruhkan, yang memetik untung atau menanggung buntung, adalah si individu sendiri. Nasib adalah kesunyian masing-masing, kata Chairil. Setiap orang bertanggung jawab atas pilihan sendiri.

Individualisme puitis Chairil membela kesejatian dan menolak kesemuan dan kepalsuan. Pembelaan Chairil terhadap kesejatian dan penolakannya terhadap kesemuan terasa sahut-menyahut dengan perkara selfie.

Selfie, mengambil foto diri sendiri dengan telepon seluler untuk diunggah di media sosial alias medsos, begitu marak di zaman kita. Halaman medsos penuh dengan foto selfie. Dalam kesempatan apa pun dan di mana pun, rasanya kurang afdal jika kita tidak ber-selfie. Rasanya tidak berlebihan jika dikatakan kita kini hidup di zaman selfie.

Selfie menyangkut eksistensi. Orang ber-selfie supaya eksis. Aku ber-selfie agar diriku dilihat, diakui, dihargai orang lain. Aku ber-selfie karena aku tidak mau diabaikan. Aku tak mau dianggap tidak ada, maka aku ber-selfie. Aku ber-selfie, maka aku ada.

Di zaman Chairil, tak ada ponsel. Tak ada medsos. Dan tentu tidak ada selfie. Namun Chairil punya cermin. Cermin bisa memantulkan wajah kita, seperti kamera ponsel. Ber-selfie hampir sama dengan becermin. Dengan ber-selfie atau becermin, kita melihat wajah kita sendiri.

Kita baca puisi “Selamat Tinggal”. 

Aku berkaca
Bukan buat ke pesta

Ini muka penuh luka
Siapa punya?

Kudengar seru-menderu
—dalam hatiku —

Apa hanya angin lalu?

Lagu lain pula
Menggelepar tengah malam buta

Ah...!!!

Segala menebal, segala mengental
Segala tak kukenal....

Selamat tinggal...!!!

Orang pergi ke pesta biasanya berdandan supaya kelihatan cakep. Begitu pula orang ber-selfie. Tidak ada orang ber-selfie supaya kelihatan jelek. Saat ber-selfie, orang pasti “berdandan”, disadari atau tidak. Sekurang-kurangnya dia akan merapikan rambut, atau mengambil pose tertentu biar terlihat keren. Jadi diri yang tampil dalam foto selfie bukanlah diri yang sejati, melainkan diri yang sudah direkayasa. Aku dalam selfie bukan aku yang sebenarnya. Aku-selfie adalah semu.

Kesemuan diri-selfie itu ditolak Chairil: Aku berkaca, bukan buat ke pesta. Yang dilihat Chairil di cermin bukan wajah cakep, seperti wajah orang ber-selfie, melainkan sebaliknya: muka penuh luka. Chairil melihat dirinya di cermin, tapi tidak mengenalinya. Siapa punya? tanyanya. Chairil tidak menemukan dirinya di cermin.

Citra yang ditampilkan cermin adalah hasil pembesaran. Cermin membesar-besarkan atau melebih-lebihkan kenyataan hingga segala menebal, segala mengental. Cermin, atau foto selfie, tidak mencerminkan kenyataan. Tidak ada diri-sejati di sana. Di cermin atau foto selfie hanya ada kesemuan, fatamorgana: segala tak kukenal. Maka Chairil mengucapkan selamat tinggal kepada diri-selfie yang semu belaka.

Puisi “Selamat Tinggal” seperti mengingatkan kita agar tidak mencari pengakuan terhadap diri dengan cara dangkal dan instan yang mengandalkan kesemuan seperti selfie. Pengakuan terhadap diri semestinya dicari dengan kerja keras untuk meraih prestasi, seperti yang ditunjukkan Chairil sendiri di sepanjang umurnya yang pendek. Bukan dengan pamer diri—apalagi diri yang palsu.

Kita hidup di zaman kesemuan. Zaman oplas. Zaman paras glowing. Zaman kopi tanpa kafein, krim tanpa lemak, bir tanpa alkohol, seks tanpa hubungan kelamin atawa seks virtual. Kita hidup di era kulit tanpa isi, tanda tanpa makna, eksistensi tanpa esensi. Di zaman yang merayakan kesemuan ini, Chairil Anwar adalah suara kesejatian yang mengetuk pintu kesadaran kita.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Arif Bagus Prasetyo

Arif Bagus Prasetyo

Kritikus sastra

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus