Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pedoman teknis pengelolaan dan pengamanan aset BLBI dinilai masih penuh celah.
Aset BLBI yang sudah diamankan Satgas BLBI baru senilai Rp 19,16 triliun dari target Rp 110,45 triliun.
Kementerian Keuangan menargetkan pemulihan piutang kasus BLBI mencapai Rp 25 triliun pada 2023.
JAKARTA – Semak belukar memenuhi lahan di balik pagar seng di pengkolan Jalan Embong Wungu dan Jalan Basuki Rahmat, Kelurahan Embong Kaliasin, Surabaya. Sebuah bangunan jembar yang atapnya tinggal separuh berdiri di sisi lahan tersebut. Area kosong di seberang bangunan dikotori sampah dan menjadi tempat penyimpanan beberapa gerobak makanan. Sebagian area dijadikan tempat parkir sepeda motor. Lahan dan rumah tersebut ditengarai merupakan aset BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) yang dikuasai pihak ketiga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat disambangi Tempo pada Jumat, 3 Juni lalu, lahan yang letaknya hanya sekitar 300 meter dari Tunjungan Plaza itu menjadi tempat mengaso sejumlah karyawan showroom mobil di sekitar lokasi. Mudah saja bagi mereka untuk masuk karena pagar seng setinggi 2,5 meter di depan lahan tak tersegel. “Kami sudah sering nyantai di sini,” ujar seorang pekerja yang sedang beristirahat.
Meski bangunan dan lahan itu tampak terbengkalai, di samping pintu pagar terdapat plang yang menjelaskan status kepemilikannya. Di sana tertulis tanah milik PT Hotel Embong Wongoe. Ada pula tulisan "Sesuai Putusan No 639/Pdt.G/2013/PN Surabaya, Ditetapkan pada 16 Desember 2014". Pada plang yang sama terdapat kata “Dijual”.
Seorang juru parkir yang biasa berjaga di lahan tersebut menyatakan tanah itu sudah lama telantar. “Jarang ditengok oleh pemiliknya,” kata dia.
Lahan tersebut tercantum dalam Laporan Hasil Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu atas Pengelolaan Aset Properti dan Aset Kredit BLBI 2020 dan Semester I 2021 di Kementerian Keuangan selaku Bendahara Umum Negara. Lahan ini hanya satu dari 808 aset BLBI yang dilaporkan dikuasai pihak ketiga, yang terdiri atas 183 aset eks Badan penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan sisanya aset eks kelolaan PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA). Adapun nilai totalnya mencapai Rp 5,83 triliun.
Dalam lampiran laporan yang disusun Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), lahan yang diklaim milik PT Hotel Embong Wongoe tadi tercatat mengantongi sertifikat hak guna bangunan (HGB) bernomor 306, 342, 527, dan 528. Merujuk pada neraca laporan keuangan transaksi khusus di BPK, nilai wajar lahan seluas 6.118 meter persegi itu berkisar Rp 195,7 miliar. Kondisi fisik lahan disebutkan kosong per 30 Juni 2021. Tapi ada keterangan bahwa aset dikuasai secara tidak langsung oleh pihak ketiga bernama Agof, yang mengaku sebagai pemilik tanah.
Sesuai dengan keterangan pada plang di lokasi, lahan itu memang sempat disengketakan di Pengadilan Negeri Surabaya pada Agustus 2013, dengan register perkara Nomor 639/Pdt.G/2013/PN.Sby. Saat itu, penggugat bernama Agof Dwi Winarwanto ingin mengklaim hak para ahli waris pemegang saham NV Hotel Embong Wongoe—nama lawas PT Hotel Embong Wongoe. Sebagai direktur utama, Agof mengklaim hotelnya sudah berdiri di lahan tersebut sejak zaman pemerintahan Belanda.
Gugatan Agof yang diarahkan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional dan Menteri Keuangan tersebut dikabulkan PN Surabaya pada 2014. Putusannya diperkuat Pengadilan Tinggi Jawa Timur pada 2019. Pada November tahun lalu, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan kasasi yang membatalkan dua putusan sebelumnya.
Dari penelusuran Tempo, aset tersebut dijadikan agunan oleh PT Kharisma Insan Santosa kepada PT Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI). Bank milik Sjamsul Nursalim itu merupakan salah satu penerima dana talangan BLBI pada krisis moneter 1998. Aset di Jalan Embong Wungu pun menjadi bagian penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS) BDNI di era BPPN. Ketika BPPN bubar pada 2004, semua aset BLBI kemudian dialihkan ke Direktorat Jenderal Keuangan Negara Kementerian Keuangan.
Aset BLBI yang dikuasai pihak ketiga di Hotel De80’ Residence Genteng Ijo, Setiabudi, Jakarta, 4 Juni 2022. TEMPO/Yohanes Paskalis
Tempo pun sempat menyambangi lokasi aset BLBI lainnya yang dikuasai pihak ketiga di sekitar DKI Jakarta. Aset berjenis rumah di Jalan Genteng Ijo Nomor 80 di Kecamatan Setiabudi, misalnya, kini menjadi hotel bintang 2 bernama De80’ Residence Genteng Ijo.
Hingga 30 Juni 2021, menurut laporan BPK, aset berluas bangunan 350 meter persegi itu dihuni debitor atau pihak ketiga tanpa klaim kepemilikan. Nilainya mencapai Rp 20,3 miliar. Ketika Tempo menyambangi hotel tiga lantai tersebut pada 4 Juni lalu, seorang petugas menolak berbicara soal kepemilikan gedung. Tempo juga belum berhasil menemui pengelola penginapan tersebut.
Status aset BLBI yang dihuni pihak ketiga tanpa klaim pun berada di Jalan Abdul Muis Nomor 60, Petojo Selatan, Jakarta Pusat, dengan nilai Rp 76,8 miliar. Berdasarkan peta Google, alamat aset tanah dan bangunan yang dilengkapi dokumen SHGB bernomor 615 itu tertulis sebagai kantor cabang Bank Danamon.
Temuan Lain BPK
Auditor BPK tak hanya mengungkap persoalan kepemilikan pihak ketiga semata. Pada subaspek pemeliharaan dan pengawasan properti BLBI, auditor negara mengungkit soal sekumpulan aset senilai Rp 2,46 triliun yang nihil pengamanan fisik, seperti papan tanda kepemilikan.
Ada juga kelompok aset senilai minimal Rp 2,75 triliun yang masa hak guna bangunannya sudah habis serta aset yang tidak dilengkapi dokumen asli kepemilikan atau peralihan aset senilai Rp 659,77 miliar. Semua persoalan ini masih di luar masalah subaspek penatausahaan.
Anggota III BPK, Achsanul Qosasi, membenarkan bahwa pedoman teknis pengelolaan dan pengamanan aset BLBI masih penuh celah. “Dan tidak detail,” tuturnya saat ditemui Tempo, Kamis pekan lalu. Bahkan, kata Achsanul, hingga 2019, Kementerian Keuangan belum merevaluasi aset negara secara menyeluruh. “Termasuk aset BLBI yang pembukuannya tak tertib. Ada yang lokasinya tidak jelaslah, diambil alih pihak lain, dan sebagainya.”
Lantaran dinilai sebagai kasus krusial negara, Achsanul meneruskan, kelemahan inventaris aset BLBI ini nyaris menurunkan opini audit Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) pada tahun lalu. Kendati akhirnya pemerintah masih mendapat opini wajar tanpa pengecualian (WTP).
Anggota III BPK, Achsanul Qosasi. Dok. TEMPO/Andi Aryadi
Penanganan Kasus BLBI Menjadi Prioritas pada Tahun Depan
Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan, Rionald Silaban, menyatakan lembaganya tengah menyisir ulang semua permasalahan aset BLBI yang terungkap oleh BPK. Menurut dia, butuh waktu untuk menagih aset karena jumlah data yang sangat banyak. “Aset pihak ketiga itu juga ingin kami pastikan peralihannya benar atau tidak,” ujar dia di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin.
Dalam pertemuan dengan DPR, kemarin, Kementerian Keuangan menyebutkan telah menetapkan target pemulihan piutang kasus BLBI hingga Rp 25 triliun pada 2023. Namun rencana itu baru diungkapkan tanpa rincian. Kementerian Keuangan menyatakan penanganan kasus BLBI masuk daftar program prioritas nasional dan proyek unggulan tahun depan. Pendanaan seluruh kegiatan tersebut mencapai Rp 6,2 triliun.
Hingga 31 Maret lalu, aset BLBI yang sudah diamankan Satuan Tugas BLBI baru senilai Rp 19,16 triliun dari target Rp 110,45 triliun. “Penagihan itu sangat bergantung pada apakah yang bersangkutan (penguasa aset) kooperatif. Intinya, mereka akan kami kejar terus,” kata Rionald.
Wakil Ketua Komisi Keuangan DPR, Amir Uskara, meminta aset sitaan BLBI dimanfaatkan agar tak mengendap menjadi beban negara. Aset produktif, seperti gedung, bisa dijadikan kantor unit kerja pemerintah. “Segera diambil alih pengelolaannya atau dilelang. Bisa disewakan juga ke badan usaha milik negara atau pihak lain.”
Ekonom dari Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia, Akhmad Akbar Susanto, menyebutkan aset BLBI semakin susah diklaim karena kasusnya sudah berjalan lebih dari 20 tahun. Menurut dia, sebagian besar aset berpindah tangan atau tak terlacak karena diabaikan para obligator atau pemilik awalnya. “Aset pinggiran yang tersebar banyak sekali. Makanya, setelah diambil harus segera diregistrasi dengan baik oleh negara,” ucapnya.
KUKUH S. WIBOWO (SURABAYA) | MUHAMMAD HENDARTYO | YOHANES PASKALIS
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo