Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Apa siapa dukun tenar indonesia

Ada bermacam cara pengobatan alternatif. sulit dipastikan mana yang betul mana yang tidak. para ahlinya, masing-masing punya keyakinan sendiri. namun, rata-rata percaya pada getaran tubuh.

18 Juli 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEREKA disebut dengan berbagai istilah. Ada yang menyebut mereka dukun, orang pintar, paranormal, dan ada pula yang lebih senang disebut sebagai "teknolog". Inilah mereka: Haji Lele Di belakang rumahnya ada tambak ikan lele seluas satu hektare yang dikelola 30 pekerja. Karena itu ia dikenal sebagai H. Lele namanya H. Hani Achmad. Lelaki, 55 tahun, bertubuh langsing dan suka mengenakan topi model Pakistan ini dilahirkan di Jombang, Jawa Timur. Sepulang dari tanah suci, ia sering melengkapi penampilannya dengan kafieh sorban khas Timur Tengah. Ia dididik di pesantren ayahnya di Jombang dan sempat belajar di Pesantren Tebu Ireng. Karena itu, kekuatan menyembuhkan yang disebutnya spiritual therapy diyakininya berasal dari Quran dan Hadis. Sejak usia lima tahun, ia kabarnya sudah menekuni Quran dan mampu menghafalnya ketika ia baru lulus SD. Selain dari dua sumber mulia itu, H. Lele memperkaya pengetahuan pengobatannya lewat khasanah pengobatan yang diajarkan oleh Ibnu Sina dan Ibnu Rusdy. Dalam praktek H. Lele mengobati pasiennya lewat pemijatanpemijatan di ujung jari kaki dan tangan pasien. Untuk meratakan pengaruh pijatan tadi, ia memukulmukul atau menepuk punggung pasien. Hanya itu yang ia lakukan dalam pengobatan yang biasanya memakan waktu hanya 2 sampai 10 menit itu. Selain itu, pasien juga diberi ramuan dengan kandungan utama madu dan jintan (sesuai dengan anjuran Quran) yang harus diminum. "Saya terdorong mengobati orang lain atas dasar belas kasihan dan kasih sayang antarsesama," kata Haji yang tak menolak pasien dari pemeluk agama apa pun. Boedhi Santosa "Saya orang yang senang bertualang," inilah penilaiannya tentang dirinya sendiri. Karena kegemarannya bertualang itulah, ia mendapatkan "mukjizat" yang ternyata bermanfaat bagi orang banyak. Perjalanan "spiritualnya" bermula ketika ia berusia delapan tahun, ketika ibunya meninggal karena kanker. "Sejak saat itu, saya bertekad untuk mencari pengetahuan buat menyembuhkan segala macam penyakit," katanya. Setahun setelah kepergian ibunya, Boedhi, yang ketika itu tinggal di Tulungagung, Jawa Timur, diajak tetangganya ke Cina. Ia belajar di perguruan Shaolin. Selama sembilan belas tahun Boedhi muda belajar kung fu dan mengolah tenaga di Cina. Ini diyakininya membangun kekuatan magnetik dalam dirinya. Tapi ini belum cukup buat Boedhi. Ia melanjutkan pencariannya ke negeri yang juga punya daya tarik mistik, India. Di sana, selama empat tahun ia belajar yoga. Dalam memberi pengobatan, langkah pertama yang dilakukan Boedhi, seperti dokter, melakukan diagnosa. Setelah penyakit pasien diketahui baru Boedhi melakukan upaya pengobatan. Bisa hanya pemijatan, bisa juga berupa pembestralan (pemanasan ke bagian tubuh tertentu). Semua ini dilakukan dengan tenaga dalam. "Tangan saya sampai rusak karena sering membestral," katanya sambil memperlihatkan telapak tangannya yang mengelupas. Karena pengobatan yang dilakukan Boedhi juga bertumpu pada pengobatan tradisional, bila perlu, ia akan memberikan ramuan jamu-jamuan. Jamu tadi diramu dari tanaman-tanaman berkhasiat, seperti rempah-rempah dan jahe. Tidak semua penderita yang datang bisa disembuhkannya. Jika pasien dinilainya sudah terlalu parah, misalnya mengidap kanker stadium IV, ia tidak segan-segan menyatakan tidak sanggup. Bagi pasien yang dianggapnya perlu menjalani operasi, ia anjurkan untuk dioperasi di rumah sakit. Pasien yang ia tangani, biasanya diminta datang selama lima hari berturut-turut untuk dipijat. Setelah itu, mereka datang seminggu sekali untuk kontrol. Untuk penderita kanker yang belum parah, biasanya akan sembuh dalam waktu empat bulan, sedangkan yang parah masa pengobatan bisa sampai setengah tahun. Namun, untuk pasien asal luar negeri, biasanya diminta tinggal satu sampai dua bulan di Indonesia. Dalam mengobati para pasiennya, yang sehari bisa mencapai seratus orang, dukun yang kini berumur 76 tahun ini dibantu anak dan istrinya. Dalam seminggu, Boedhi membuka praktek dari pagi hari sampai sore, kecuali Sabtu dan Minggu. "Hari-hari libur, biasanya saya melakukan hobi saya sebagai penerjun payung," kata pelatih Borobudur Parasut Club itu. Mbah Sirat Usianya 91 tahun, memang ia sudah senja. Tapi kesan renta lenyap ketika Mohamad Sirat atau Mbah Sirat, dukun kondang asal Dusun Gumuk, Desa Sumber, Muntilan, Jawa Tengah, itu menempelkan jemarinya yang cokelat ke bagian-bagian tubuh pasiennya. Di rumah berlantai tanah, Mbah Sirat dengan dibantu oleh istrinya, Mbah Ngatmi, "menggarap" pasiennya yang ratarata membawa penyakit yang nyaris sudah tak tertolong lagi. Tidak ada kesan mistik yang muncul dari ruang tamunya yang sekaligus ruang praktek. Tidak ada hiasan yang menempel di dinding rumah, kecuali foto Presiden dan Wakil Presiden yang bercampur dengan foto-foto bekas pasiennya. Langkah pertama yang dilakukan oleh Mbah Sirat dalam melakukan pengobatan adalah dengan mengheningkan cipta. "Gunanya, untuk menentukan langkah yang harus dilakukan terhadap masing-masing pasien," katanya. Setelah mengetahui letak sumber penyakit yang ada di tubuh pasien, Mbah Sirat mulai melakukan pemijatan meskipun, menurut dia, tidak semua penyakit bisa sembuh lewat pijatan. "Sakit jiwa tidak perlu dipijat," katanya. Setelah pemijatan, pasien pulang dengan dibekali air putih yang diberi mantra. Air ini sisa air yang digunakan untuk memijat. Aturan minumnya tergantung pada kondisi si pasien. Ada yang 20 kali minum ada pula yang sampai 60 kali. Selain itu, pasien juga dibekali buntelan atau bungkusan, yang berfungsi sebagai jimat yang harus dipakai sebagai alas tidur. Jimat ini baru boleh dibuang setelah penyakit yang bersarang di tubuh pasien lenyap sama sekali. "Enggak dibuang juga enggak apa-apa," katanya. Pasien asing Mbah Sirat kebanyakan berasal dari Prancis. Ada yang pernah datang dalam rombongan sekitar 20 orang dengan bus. Sampai saat ini, kira-kira 50-an pasien asing berobat padanya. "Syukur alhamdulillah banyak yang sembuh," katanya. Pak Manyul Di Yogyakarta, salah satu dukun yang sering didatangi pasien asing adalah Supadi B.H. Hadikusumo, 56 tahun. Ia lebih dikenal dengan panggilan Pak Manyul. Di rumahnya yang berarsitektur Belanda dan berhalaman luas di Jalan Sabirin itu ia menangani pasiennya. Rumah tempat praktek ini berfungsi pula sebagai tempat mahasiswa dan pelajar indekos. Dalam melaksanakan tugasnya, Pak Manyul menggunakan alat bantu, berupa tongkat dari kayu sepanjang 30 sentimeter. Tongkat ini berfungsi sebagai alat untuk mendeteksi letak sumber penyakit, sekaligus mentransfer kekuatan supranatural ke tubuh pasien. Soal tongkat ini, sebetulnya bukanlah alat utama Pak Manyul dalam mengobati pasiennya. Kekuatan Pak Manyul sebenarnya ada pada kedua belah telapak tangannya. Karena tak mau menyentuh tubuh pasien, apalagi bagian-bagian yang tabu, Pak Manyul menggunakan tongkat sebagai perantara. Untuk mempraktekkan keahliannya, Pak Manyul tidak perlu memilih tempat khusus. Ia sanggup melakukan upaya penyembuhan di mana saja. Hanya saja, ia tidak mau membuka "prakteknya" pada hari-hari pantangannya, yakni Selasa dan Jumat Kliwon serta Selasa dan Jumat legi. Satu hal yang paling tidak disukai Pak Manyul adalah jika pasien yang sedang diobatinya berobat pula pada dukun lain. Karena, menurut Pak Manyul, pengobatan di dua dukun sekaligus bisa berbahaya, baik bagi pasien maupun si dukun. Pasalnya, setiap dukun mempunyai kekuatan dan teknik penyembuhan sendiri-sendiri. Perbenturan dua kekuatan inilah yang tidak diinginkan Pak Manyul. Karena itu, Pak Manyul selalu menanyakan kepada pasiennya apakah ia sedang berobat kepada dukun lain. Karena, Pak Manyul sendiri tidak bisa mendeteksi apakah si pasien menyimpan kekuatan paranormal lain atau tidak. Berbeda dengan dukun yang lain, Pak Manyul tidak pernah memberikan batasan kepada pasiennya berapa lama mereka harus menjalani pengobatan. Kepada pasien asing, ia biasanya bertanya berapa lama si pasien akan tinggal di Indonesia, dan selama itu pula ia mengupayakan penyembuhan. Kadirun Yahya "Saya bukan dukun. Saya teknolog," kata Kadirun Yahya, 75 tahun, menegaskan siapa dirinya. Rektor Universitas Panca Budi, Medan, ini mengaku semata-mata mempraktekkan ilmu pengetahuan alam. Apa yang dimaksudnya dengan pengetahuan alam adalah pemanfaatan ultra Sonor untuk memerangi penyakit. Metode terapi yang dia sebut sebagai Naturopathy ini, katanya, didapatnya dari Eropa. Dasarnya memanfaatkan fenomena-fenomena alam seperti udara, air, matahari, es, dan lainlain. "Semua itu teknologi, bukan klenik," jelasnya. Dalam mengobati pasien, Kadirun memakai alat bantu berupa tongkat kayu. Sama dengan Pak Manyul, tongkat tersebut dibutuhkan untuk menghindari sentuhan langsung dengan pasien yang mungkin bukan muhrimnya. Tongkat kayu yang jumlahnya lebih dari satu itu (berukuran 1 X 3 meter) berfungsi sebagai mediator. Lewat tongkat tersebut ia menyalurkan kekuatan ultra sonor ke tubuh pasien. Sebagai "teknolog", Kadirun sanggup menyembuhkan segala macam penyakit. Sekalipun keadaan mereka sudah parah, "Insyaallah bisa saya sembuhkan," katanya tanpa memungkiri ada juga pasien yang gagal ditolongnya. Praktek pengobatan Kadirun mulai sejak 1953. Ia tidak bisa mengingat lagi berapa banyak orang yang sudah ditolongnya. Yang unik, dalam upaya pengobatannya, ia dibantu empat dokter. Mereka bertindak sebagai asistennya dalam mendiagnosa penyakit. Setelah penyakit diketahui, baru ia memulai pengobatan. Jika pasiennya muslim, ia akan mengajak pasien melakukan zikir dan membaca Quran. "Quran dan zikir adalah obat segala penyakit," kata Kadirun menjelaskan. Untuk yang nonmuslim, ia hanya menerapkan terapi fisik, termasuk diet, mandi matahari pagi, dan mandi es. Selain itu, ia juga memberikan madu dan susu segar bagi pasien. Tidak lupa ia memberikan resep berupa ramuan beras kencur, nanas muda, dan tumbukan sejenis tumbuhan. Dalam proses penyembuhan, pasien harus mondok di rumahnya di Jalan Sei Batu Gingging, Medan. Dalam sehari, ia menjenguk mereka tiga kali. Secara bergiliran ia akan mendoakan mereka sambil menyentuhkan tongkatnya ke bagian tubuh yang sakit. Sambil ngobrol, ia memberikan motivasi kepada si pasien. "Dalam sepuluh hari biasanya mereka sembuh," kata Kadirun. Dalam praktek pengobatannya, ia tidak pernah meminta imbalan. Namun, ia tidak menolak sumbangan yang disalurkan ke Yayasan Kadirun Yahya. Badan sosial ini menyantuni ratusan anak yatim, santri, dan remaja putus sekolah. Gembong Danudiningrat Ia mendiagnosa pasien hanya dengan melihat wajah. Bahkan, bisa lewat foto. "Tubuh manusia mengandung aliran listrik. Bagian-bagian yang tidak normal akan memancarkan gelombang tertentu. Di situ terlihat penyakitnya," kata Gembong, 36 tahun, menjelaskan. Dalam mengobati seseorang, Gembong yakin, bahwa doa adalah faktor utama. "Rata-rata pasien saya sembuh karena doa. Setiap salat tahajud saya selalu mendoakan pasien," kata insinyur pertanian lulusan UGM (1982) ini. Tirakat adalah santapan "keduanya". Gembong mengaku bisa "melihat" penyakit seseorang juga mereka yang akan meninggal karena bakat dan keturunan. Kemampuan ini sudah disadarinya sejak kecil. Jika ada yang minta diobati, Gembong kecil buru-buru lari ke dapur, misalnya, memarut kunyit dan meramunya dengan dedaunan dari semak-semak belukar untuk obat. Racikan itu dibuatnya berdasar insting. "Seperti ada yang membisiki, daun iniini, ituitu bisa menyembuhkan penyakit," kata Gembong. Esoknya, orang yang diobatinya sembuh. Dengan modal pengetahuan yang didapatnya di Sekolah Pertanian Menengah Atas dan Fakultas Pertanian UGM, Yogya, Gembong menguji berbagai dedaunan dan akarakaran di laboratorium. "Untuk mengetahui kandungannya," katanya. Kini, ia mempunyai catatan sekitar 2.500 jenis daun dan akar. Ramuan itu dioven agar tak berjamur. Jadi, tak usah kaget jika di rumah kontrakannya di Jalan Sugeng Jeroni, Yogyakarta, sering terdengar ramai deru api dari 14 buah kompor minyak. Ia sedang mengolah jamu. Di sini Gembong dibantu 28 orang pegawai. Jumlah pasien Gembong sampai puluhan ribu. Di Jakarta ia berpraktek di beberapa tempat, antara lain di Kompleks Kelapa Gading. Di Jakarta ia mengobati rata-rata 400 pasien sehari, masing-masing cukup lima menit. Menurut Gembong, semua pengobatan dasarnya sama. "Baik pengobatan modern maupun paranormal. Bedanya, dalam paranormal ada faktor x yang tak bisa dijabarkan dan dijelaskan oleh pengobatan modern. Faktor x itu adalah kuasa Tuhan dan semangat pasien untuk sembuh. Kuasa Tuhan itulah yang menentukan," katanya. Gembong punya enam patokan diagnosa. Anatomi, fisiologi, organ tubuh, patologi, dan kejiwaan. Patokan keenam, gunaguna. Ini pengobatan paling sulit. Gembong mengaku harus ekstra hatihati. "Efeknya bisa mengenai diri sendiri, bisa muntah darah." "Menurut Quran, tak ada penyakit yang tak ada obatnya," katanya tentang dasar keyakinannya. Tuhan tak pernah menurunkan penyakit yang tidak ada obatnya. Salah satu sumber penyakit, menurut Gembong, adalah makanan. "Banyak makan sayur dan buah, sangat baik," katanya memberi nasihat. Gembong tak menyukai predikat: punya kekuatan paranormal. Ia merasa manusia biasa dengan sedikit kelebihan. Dan ini soal bakat. Pater Herndrikus Loogman Pater Loogman, begitu orang mengenal pastur kelahiran Haarlemmermeer Schifhal Negeri Belanda 55 tahun lalu ini. Begitu terkenalnya rohaniwan ini sehingga setiap tukang becak tahu tempat prakteknya di Jalan Achmad Dahlan Purwerejo, Jawa Tengah. Pria yang punya nama asli Hendrikus Handoyo Loogman ini sejak 1972 membuka praktek pengobatan tradisional. Paling tidak dalam satu hari ada sekitar 130 pasien menunggu giliran. Mereka datang dari dalam negeri dari luar negeri. Pater Loogman merintis pengobatan tradisional lewat pertemuannya dengan Arif Sutrisno, seorang ahli kebatinan dan pengobatan Timur. Pada awalnya Pater Loogman menggunakan teknik radiaesthesia, semacam tongkat kayu bercabang tiga, seperti yang digunakan orang untuk mencari sumber air secara tradisional. Tongkat segitiga ini digunakan untuk mengidentifikasi penyakit yang diidap pasiennya. Belakangan bersama seorang dokter, Joni Sidayatra, yang menjadi muridnya, ia mengembangkan teknik pengobatan dengan jamujamuan. Pater Loogman menyatakan bahwa pengobatan tradisional yang dilakukannya tetap berlandaskan prinsip-prinsip pengobatan yang dikenal dalam ilmu kedokteran. "Bentuk pengobatan yang saya lakukan semuanya rasional dan jauh dari mantra-mantra magis," ujarnya. Ia menyatakan pengobatan alternatif bukan ingin menyaingi kedokteran modern. "Untuk memberikan sumbangan pada ilmu pengobatan ketika ilmu kedokteran modern sudah tak mampu lagi mengatasi suatu penyakit." Dalam prakteknya Pater Loogman melibatkan sekitar 40 dokter medis, yang dianggapnya sebagai murid. Namun, diakuinya, ia belum menerapkan metode ilmiah untuk menguji kemampuan obat-obat tradisional yang diraciknya. "Saya menentukan obat yang harus saya gunakan berdasarkan indera keenam saya," ujarnya. Walaupun demikian, katanya, dia belum pernah meleset dalam menentukan obat yang dibutuhkan pasiennya. Pater Loogman sekarang ini mengembangkan teknik radiaesthesia dengan memanfaatkan jari-jari tangan untuk menangkap gelombang yang dia percaya dipancarkan semua tubuh manusia. Dengan melatih kepekaan sarafnya, Pater Loogman mampu mengidentifikasi penyakit yang diderita seseorang lewat rabaan jari tangan. Ia dan murid-muridnya mengembangkan pula kemampuan radiaesthesia lewat ballpoint yang juga ditempelkan pada tubuh pasien. Perbedaan intensitas gelombang yang ditangkap jari tangan menunjukkan ada sesuatu yang tak beres pada organ tubuh pasiennya. Untuk memudahkan identifikasi penyakit, Pater Loogman membuat sistem kode dengan 74 angka yang masing-masing menandai organ tubuh. Pater Loogman juga meracik obat tradisional berupa jamu-jamuan sekitar 60 jenis. Semua obat ini diracik dan diproduksi di Bogor, yang kemudian digunakan semua dokter yang pernah berguru kepadanya. Pater Loogman tidak mengklaim pasiennya sembuh 100% karena pengobatannya. "Hanya 25% kesembuhan seorang pasien karena pengobatan saya, 75% sembuh karena waktu," katanya. "Kalangan dokter medis juga harus melihat hasil kerja mereka tidak sepenuhnya karena hasil pengobatan, tapi lebih banyak karena pengaruh sugesti." RFM, GT, Sri Wahyuni, Nanik Ismiani, Indrawan, Munawar Chalil, Widi Yarmanto, dan Ivan Haris

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus