Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Arsip

Aset DKI dalam Incaran Mafia Tanah

Aset tanah Pemerintah DKI Jakarta dalam incaran mafia tanah. Bahkan, di sejumlah titik tanah pemerintah sudah beralih kepemilikan kepada pihak lain.

8 September 2018 | 13.42 WIB

Rumah warisan Ukar bin Kardi di Jalan Pengairan Pesing Koneng, Jakarta Barat, Jumat, 7 September 2018. Keenam anak Ukar saat ini menjadi tersangka kasus mafia tanah aset Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. TEMPO/Lani Diana
Perbesar
Rumah warisan Ukar bin Kardi di Jalan Pengairan Pesing Koneng, Jakarta Barat, Jumat, 7 September 2018. Keenam anak Ukar saat ini menjadi tersangka kasus mafia tanah aset Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. TEMPO/Lani Diana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Aset tanah Pemerintah DKI Jakarta dalam incaran mafia tanah. Bahkan, di sejumlah titik tanah pemerintah sudah beralih kepemilikan kepada pihak lain. Buktinya, sejak 2008 sampai 2016, tanah seluas 178.987 meter persegi atau 17,89 hektare tanah yang pernah tercatat milik Pemerintah DKI Jakarta, belakangan terlepas setelah pemerintah kalah di pengadilan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Baca: Mafia Tanah Aset DKI, Lahan 74 Ribu Meter Persegi Terancam Hilang

Kepala Bagian Bantuan Hukum Biro Hukum DKI Jakarta, Nur Fadjar, mengatakan tanah seluas 17,8 hektare tersebut terletak di Jalan Bintaro Puspita, Jakarta Selatan (11.682 meter persegi); Jalan Juanda III, Jakarta Pusat (2.236), Kwartir Cabang Pramuka Jakarta Timur, Jalan Setu (4.500); Jalan Paninggaran Barat I, Jakarta Selatan (872); Jalan Raya Bogor Kilometer 27 (3.910); Kelurahan Pondok Kelapa, Jakarta Timur (8.061), Kelurahan Meruya Selatan dan Joglo, Jakarta Barat (146.629), dan Jalan Balai Pustaka Baru I, Jakarta Timur (1.097).

Kasus terkini, aset tanah Dinas Kehutanan DKI Jakarta seluas 74 ribu meter persegi atau 7,4 hektare terancam lepas akibat ulah mafia tanah. Musababnya, Pemerintah DKI telat mengajukan banding atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat yang mengabulkan gugatan dari Ali Effendy dan kawan-kawan.

Fadjar mengatakan, pengajuan banding perkara tersebut telat lantaran pengadilan mengirimkan isi putusan pada Dinas Kehutanan. Padahal, Dinas telah memberikan kuasa pada Biro Hukum untuk menangani sengketa lahan di Srengseng, Kembangan, Jakarta Barat itu. “Kenapa Pengadilan mengirimkan relaas-nya ke Dinas Kehutanan, bukan ke kami?” ujar Fadjar, Kamis, 6 September 2018.

Baca juga: Polisi Tetapkan 8 Tersangka Mafia Tanah Aset DKI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada Maret 2017, Ali Effendy dan kawan-kawan menggugat Dinas Kehutanan. Mereka mengklaim sebagai pemilik lahan yang kini menjadi kebun bibit Dinas Kehutanan. Pengadilan kemudian memutus perkara itu pada 13 Desember 2017. Salinan putusannya baru sampai ke kantor Dinas pada 30 Januari 2017.

Fadjar menjelaskan Biro Hukum baru mengajukan banding atas putusan itu pada 15 Februari 2018. Padahal, masa pengajuan banding hanya 14 hari kerja setelah para pihak yang bersengketa menerima salinan putusan. “Kami telat sehari ajukan banding,” ujar Fadjar.

Menurut Fadjar, hakim Pengadilan mengabaikan bukti-bukti kepemilikan lahan yang dimiliki oleh Dinas Kehutanan. Padahal, dalam persidangan, Dinas menunjukkan pelbagai bukti seperti surat pelepasan hak tanah, iuran pembangunan daerah (Ipeda), hingga girik.

Adapun Ali, menurut Fadjar, hanya membawa bukti berupa kuitansi pelunasan pembayaran lahan dan girik. Girik yang dimiliki oleh Ali pun ditengarai palsu. Karena itu, Biro Hukum melaporkan Ali ke Kepolisian Daerah Metro Jaya pada 3 Juli lalu dengan tuduhan pemalsuan akta autentik.

Aset DKI di lokasi lain yang menjadi incaran mafia tanah juga terungkap atas kerja sama dengan kepolisian. Rabu lalu, Polda Metro Jaya mengungkap pemalsuan sertifikat hak milik yang diduga dilakukan oleh Sudarto dan kawan-kawan. Selaku kuasa hukum ahli waris Ukar bin Kardi, Sudarto menggugat ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur.

Mereka mengklaim sebagai pemilik lahan seluas 2,9 hektare yang kini menjadi kantor Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (Samsat) Jakarta Timur. Sudarto dkk menggugat pemerintah DKI membayar ganti rugi sebesar Rp 340 miliar pada 2014.

Sudarto menjanjikan bagian 25 persen dari nilai gugatan tersebut kepada tujuh orang lainnya. Pengadilan Jakarta Timur mengabulkan gugatan Sudarto dan kawan-kawan. Kasus yang diduga dilakukan mafia tanah ini masih dalam proses banding.

Wakil Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Ade Ary Syam Indradi mengatakan pihaknya telah menetapkan delapan orang tersangka yang mengaku ahli waris atas tanah tersebut, yakni S, M, DS, IR, YM, ID, INS, dan I.

Ade menceritakan riwayat tanah yang dimaksud yang pernah dibebaskan oleh seorang bernama Johnny Harry Soetantyo pada April 1985. Sertifikat hak pakai tanah itu lalu tercatat milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada 1992.

Sudarto dkk menggugat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada 2014. Mereka mengklaim sebagai ahli waris tanah dari seorang bernama Ukar alias Kardi, pemilik tanah tersebut.

Ade memaparkan, penggugat menyerahkan bukti di persidangan berupa sertifikat hak milik serta akta jual beli ahli waris dengan pemilik lama. Pengadilan Negeri Jakarta Timur lalu memenangkannya dan meminta DKI membayar kerugian sebesar Rp 340 miliar dalam vonis pada 2015. Pemerintah DKI saat ini dalam proses banding atas putusan tersebut.

Menurut Ade, dalam persidangan di PN Jakarta Timur itu, Badan Pertanahan Nasional Jakarta sebenarnya telah menyangkal menerbitkan sertifikat hak milik para penggugat. Ini yang mendorong penyelidikan polisi.

“Dasar gugatan adalah sertifikat hak milik yang diduga palsu dan sudah dinyatakan palsu oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jakarta,” kata Ade.

Dari serangkaian pemeriksaan yang sudah dilakukan sejak tahun lalu itu Ade menyatakan menjerat para tersangka dengan Pasal 263, 264, dan 266 juncto Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Mereka terancam hukuman enam tahun penjara.

Kini polisi berfokus membongkar modusnya sampai mafia tanah itu tetap dimenangkan gugatannya oleh pengadilan tingkat pertama pada 2015 sekalipun BPN menyatakan tak pernah menerbitkan sertifikat yang digunakan untuk menggugat itu.

Berdasarkan kejanggan tersebut, kata Ade, pihaknya tengah menyelidiki keterlibatan pihak lain, termasuk Pengadilan Negeri Jakarta Timur. “Ya kepada siapapun lah kami masih kembangkan," kata Ade. Dengan terbongkarnya kasus mafia tanah tersebut, diharapkan aset Pemerintah DKI Jakarta bisa kembali lagi.

 

 

Lani Diana

Menjadi wartawan Tempo sejak 2017 dan meliput isu perkotaan hingga kriminalitas. Alumni Universitas Multimedia Nusantara (UMN) bidang jurnalistik. Mengikuti program Executive Leadership Program yang diselenggarakan Asian American Journalists Association (AAJA) Asia pada 2023.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus