Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Babak-Belur Tergilas Spoor

Beda tafsir Perjanjian Linggarjati menyulut Agresi Militer I. TNI tidak siap.

12 November 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LETNAN Jenderal Simon Spoor memandangi lembar-lembar klausul Perjanjian Linggarjati. Perhatiannya tertuju pada pasal 16: kerja sama militer antara Negeri Belanda dan Indonesia. Desember 1946, sebulan setelah kesepakatan tersebut diteken Sutan Sjahrir dan Wim Schemerhorn, perwira 44 tahun itu menyelesaikan cetak biru pertahanan di Hindia Belanda.

Belanda memimpin pembentukan polisi berkemampuan tempur alias gendarmerie di Negara Indonesia Serikat. "Pasukan Republik tidak memiliki kualitas tempur," katanya seperti dikutip sejarawan Universitas Leiden, J.A. de Moor, dalam makalah "Jenderal Spoor dan Berkas yang Tiada", yang diterjemahkan sejarawan militer Letnan Jenderal Purbo Suwondo dan Mayor Alwin Nurdin.

Indonesia menampik usul pembentukan gendarmerie, yang berarti menghapuskan Tentara Nasional Indonesia. Di tengah ketegangan, Menteri Luar Negeri Belanda Eelco van Kleffens memperkirakan Perserikatan Bangsa-Bangsa akan mengutuk Belanda jika menyerang Indonesia. Maka rencana serangan itu disamarkan sebagai aksi polisional bersandi Operatie Product untuk memberantas kekacauan di wilayahnya. Padahal sejatinya operasi itu mengincar sumber ekonomi atau "product" berupa hasil perkebunan dan pertambangan di Jawa dan Sumatera. Belanda mesti mencari pemasukan baru untuk menyeimbangkan keuangan yang defisit pasca-Perang Dunia II.

Pada 20 Juli 1947, Perdana Menteri Louis Beel menyatakan Belanda tak lagi terikat gencatan senjata dengan dalih pasukan Indonesia sering mengganggu keamanan. Sehari kemudian, sekitar pukul 06.00, pesawat tempur P-51 Mustang mengumbar peluru di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Palembang, dan Padang. Serbuan si cocor merah—mengacu pada gambar mulut hiu berwarna merah di moncong pesawat—diiringi serangan 100 ribu personel kavaleri dan infanteri. "Orang-orang masuk parit perlindungan," ujar Jenderal Abdul Haris Nasution, dalam memoarnya, Memenuhi Panggilan Tugas. Nasution waktu itu menjabat Panglima Daerah Militer Siliwangi, Jawa Barat.

Melalui Radio Republik Indonesia, Panglima Besar Soedirman meminta seluruh rakyat Indonesia bersatu menyelamatkan negara. Tiga kali dia mengatakan "Ibu Pertiwi Memanggil" sebagai sandi bagi TNI untuk melawan. Strateginya: membentuk wehrkreise, kantong perlawanan. Intinya—seperti ditulis mantan Panglima Siliwangi Letnan Jenderal Himawan Sutanto dalam Yogyakarta 19 Desember 1948—pertempuran dilakukan secara tersebar dan hanya menyerang saat musuh lengah.

Sayang, konsep tersebut masih setengah matang saat Belanda menyerang. Terlebih para pemimpin TNI masih dipusingkan oleh kerumitan konsolidasi laskar dan Tentara Republik Indonesia. Milisi sipil dan tentara sebanyak 500 ribu orang itu harus digabungkan menjadi TNI.

Di Jawa Barat, Belanda memasuki semua front dalam satu hari. Mereka mengincar daerah utara, jalan raya dan jalur kereta. Anak buah Spoor memalsukan perintah Nasution bahwa Siliwangi telah menyerah. Di jalan, Nasution menemui banyak anggota pasukannya kehilangan semangat tempur. "Sedih, karena tak punya pegangan langkah selanjutnya," kata Nasution, saat itu berusia 29 tahun.

Agresor tidak menemui tantangan serius. Dalam buku Between Rice Fields and Mountain, memoar Brigade Tijger—pasukan Belanda yang ditempatkan di Semarang—tertulis mereka memenuhi target hari pertama dengan mudah, mencapai Ungaran, 28 kilometer di selatan Semarang. Anggota pasukan yang kebanyakan terdiri atas sukarelawan perang itu mendapati deretan perkampungan utuh, dengan ayam dan kambing, tapi tanpa penghuni. Mereka juga menikmati kesejukan Gunung Ungaran, yang berbulan-bulan cuma bisa mereka lihat dari jauh, berikut sawah dan sungainya. "Rasanya seperti piknik," kata seorang anggota Tijger.

Penyerangan ini menyulut protes internasional. Seperti ditulis Radik Sudirjo dkk dalam Panglima Besar Sudirman, Amerika Serikat, Suriah, dan Burma menilai Belanda melanggar perjanjian damai. India, Pakistan, dan Thailand melarang maskapai penerbangan Belanda, KLM, mendarat di wilayah mereka. Pada 30 Juli, Dewan Keamanan PBB membahas konflik tersebut dan menyerukan penghentian kontak senjata dua hari kemudian. Selama dua pekan, jatuh korban dari pihak Belanda sebanyak 6.200 orang dan Indonesia 150 ribu orang.

Dari Agresi Militer I dan masukan bawahannya, Soedirman menyimpulkan pertahanan frontal tak bermanfaat. Ia menggantinya dengan upaya memperkuat kantong-kantong gerilya. Implementasi dari konsep ini adalah pengembangan teritori militer sampai komando rayon militer di tiap kecamatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus