Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Tingkat pencemaran partikel debu halus di udara Jakarta pada hari ini, Kamis 14 Februari 2019, tercatat telah melampaui ambang batas wajar. Tingkat pencemaran udara Jakarta ini tidak terpantau alat milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca:
Pencemaran Udara Jakarta, Jika di Bangkok Siswa Sudah Diliburkan
Partikel yang dimaksud adalah jenis PM 2,5. Ambang batas untuk jenis pencemaran ini adalah 88 mikrogram per meter kubik dan yang terukur mencapai 102.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"PM 2,5 berbahaya, karena ukurannya dan dampaknya yang karsinogenik (menyebabkan kanker)," ujar Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Ariyanu, Kamis 14 Februari 2019.
Bondan menjelaskan polutan PM 2,5 merupakan debu kecil berukuran 2,5 mikron. Polusi ini dihasilkan dari sisa pembakaran, mulai dari bahan bakar fosil, PLTU Batubara, dan transportasi.
Baca:
Pencemaran Udara Jakarta Picu Kanker, Ini Jawab Pemprov DKI
Bondan menjelaskan, data tingkat pencemaran udara PM 2,5 hanya terpantau dari dua stasiun pantau udara milik Kedutaan Besar Amerika. Sedangkan, alat pantau udara milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tak memantau pergerakan polutan jenis tersebut.
Bondan mengatakan alat pantau udara milik KLHK hanya memantau tingkat polutan jenis PM 10, yakni polusi berbentuk asap, debu dan uap yang ukurannya 10 mikron. Padahal, kata Bondan, polutan ini masih kalah berbahaya dengan PM 2,5.
Parameter PM 2,5 di satu stasiun pantau di Jakarta Selatan pada Kamis 14 Februari 2019 menunjukkan angka di atas 88 ug/m3 sejak pukul 00.00 WIB. Angkanya bahkan mencapai 102 ug/m3 pada pukul 05.00 pagi tadi.
Bondan menilai pemerintah tak tanggap terhadap bahaya yang mengancam kesehatan warganya. Pemerintah juga lalai dalam menunaikan kewajibannya untuk menyediakan informasi kualitas udata real time yang jelas dan dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
"Warga harus inisiatif sendiri dan terpaksa harus mencari sumber-sumber lain, dan itu tidak mudah," katanya.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan ketika diminta tanggapannya menolak berkomentar banyak. Termasuk perihal minimnya alat pemantau udara di Jakarta. "Nanti ada solusinya, insya Allah," kata Anies.