Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Bandung <br /><font size=2 color=#FF9900>DARI KOMUNITAS UNTUK KOTA</font>

28 Desember 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ES krim itu tak lagi memikat Silvia, 27 tahun. Sendok es krim itu dilemparkan begitu saja ke sudut meja. Meninggalkan sejumlah uang, perempuan blasteran Indonesia-Belanda itu buru-buru meloncat dari kursi Restoran Braga Permai ke jalan. Dia terpancing arak-arakan pertunjukan kelompok seni Ganiati Garing Mania Sampai Mati yang melintas di Bragaweg Bandung, sore itu. Segera dia membaur dengan kepadatan orang. Kostum yang beraneka rupa dengan rambut palsu warna-warni membetot perhatian Silvia dari sajian manis Maison Bogerijn alias Braga Permai, restoran kesayangan mendiang omanya.

Datang jauh dari Maastricht, Belanda, ini adalah kunjungan kedua Silvia ke Bandung. Ia ingin membuktikan sendiri kebenaran cerita sang oma tentang betapa memikatnya Bandung. ”Saya jatuh cinta. Terutama pada spirit kreativitas warganya,” kata desainer grafis sebuah penerbitan di Belanda itu.

Silvia adalah satu dari ratusan pelancong jauh yang sore itu menikmati pesta rakyat di kawasan Braga. Hari itu, Ahad dua pekan lalu, kawasan yang dulunya dikenal sebagai downtown Kota Bandung dengan toko dan kafe itu sengaja ditutup untuk kendaraan. Beragam komunitas merayakan akhir dari dua bulan digelarnya Helarfest 2009, festival yang menjadi ajang pamer karya komunitas kreatif Kota Bandung.

Festival yang memanfaatkan berbagai ruang publik terbuka ini tak ubahnya pesta rakyat. Berbagai atraksi seni, tradisional hingga eksperimental, dijajal. Ada pemutaran dan pelatihan pembuatan film, pameran arsitektur dan desain, pesta clothing, diskusi anak, hingga konser musik metal dan jazz.

Festival Helar berasal dari kata helaran—dalam bahasa Sunda berarti ajang pamer yang sebenarnya merupakan tradisi hajatan yang biasa digelar seusai panen. ”Biasanya ditampilkan beragam hasil bumi dan semua pertunjukan dengan niat membangun rasa syukur agar terus lebih produktif,” kata Gustaff Hariman Iskandar, fasilitator Common Room, yang juga pendiri Bandung Creative City Forum (BCCF).

Nah, ditarik ke konteks urban dan hidup berkota, helaran tahun ini adalah yang kedua kalinya diorganisasi BCCF, forum yang menjadi tempat anak-anak muda dari beragam komunitas kreatif di Bandung. Ada 30 komunitas yang tergabung di awal deklarasi, Desember 2008.

Mereka dipertemukan oleh kesamaan mimpi: menjadikan Bandung kota kreatif kelas dunia. Bandung sudah punya modal kuat, yaitu tumbuh suburnya komunitas kreatif. ”Ini adalah gerakan moral dari warga yang mencintai kotanya,” kata Ridwan Kamil alias Emil, arsitek yang juga Ketua Forum.

Yang menjadi soal kemudian adalah terbatasnya ruang publik. Kalau toh ada, seperti galeri, ruang pertemuan, itu merupakan ruang privat yang ”dipaksa” menjadi publik. Kota tidak didesain memiliki ruang terbuka publik yang mengakomodasi gairah komunitas-komunitas ini. ”Ruang publik diperoleh dari orang-orang yang menyediakan rumah untuk kepentingan publik,” ujarnya.

Maka komunitas pun bergerak makin kreatif, tidak bergantung pada ketersediaan ruang oleh pemerintah kota. Helar tetap digelar dengan memanfaatkan ruang kosong, seperti tiang-tiang jembatan layang Pasopati dan ruang di bawah jembatan. Komunitas arsitek muda menjadikan tempat tersebut sebagai tempat pameran tentang sejarah kota ini pada 1600-1940.

Taman-taman kota juga dijadikan ruang pamer sehingga lebih ramai didatangi warga. Lihatlah perubahan di taman kecil di persimpangan Jalan Dago, misalnya. Di tempat anak muda Bandung kongko dan latihan skateboard di akhir pekan itu dibangun beberapa boks, seperti karya instalasi. Perubahan kecil itu menjadi magnet baru bagi warga dan pelancong yang datang ke Bandung. Taman-taman mulai menjadi pilihan tempat yang dikunjungi, dibanding mal dan pusat belanja.

Warga kampung pun diajak berbenah. Babakan Asih, misalnya, dulu dikenal sebagai kampung mantan narapidana. Kini kawasan tersebut disulap sebagai ruang publik yang menjadi destinasi kunjungan orang. Ada taman, mural, dan fasilitas hot spot.

Aktivitas warga kota berekspresi di ruang-ruang terbuka itu akhirnya membentuk sinergi dalam festival kota: Helarfest. Dan untuk kesinambungannya, Helarfest ini lebih terjamin karena yang berperan adalah komunitas yang sudah hidup dan berakar.

Yang tidak dicetuskan orang-orang ini masalah di Bandung—kegiatan di ruang terbuka justru tidak bergairah. Festival Braga, misalnya, yang digelar Dinas Pariwisata setiap Desember, sejak 2005, sering sepi pengunjung, bahkan ditanggapi dingin oleh masyarakat.

Warga sekitar Braga menganggap festival itu hanya tontonan, mungkin karena mereka tak dilibatkan. Festival juga tidak mempengaruhi kondisi Braga secara keseluruhan. ”Ya, tidak membuat Braga semakin ramai. Artinya, setelah festival selesai, ya sudah. Braga sepi lagi,” ujar Chandra, pemilik toko barang antik Sin-Sin.

Jadi, bila ingin kegiatan di ruang terbuka itu lestari, keterlibatan komunitas adalah hal wajib. Seharusnya, kata Emil, pemerintah Bandung mensyukuri, suburnya komunitas kreatif di Bandung membuat pekerjaannya menata kota semakin ringan. ”Hanya kreativitaslah yang akan menyelamatkan Bandung,” ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus