Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ringkasan Berita
Di tengah pandemi corona, muncul ancaman kelangkaan obat.
Terjadi kisruh pengadaan obat di Kementerian Kesehatan.
Pengusaha kembang-kempis mengadakan obat.
DI hadapan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko pada pertengahan Februari lalu, Aditya Wardhana mengemukakan kegusarannya terhadap nasib penyandang human immunodeficiency virus/acquired immune deficiency syndrome atau HIV/AIDS. Direktur Eksekutif Koalisi AIDS Indonesia itu mengatakan terjadi kelangkaan obat antiretroviral (ARV) jenis tenofovir, lamivudine, dan efavirenz di pasaran. “Tanpa obat itu, nyawa orang dengan HIV/AIDS terancam,” katanya menceritakan pertemuan tersebut kepada Tempo pada Jumat, 17 April lalu.
Aditya mengaku sudah berkali-kali menghubungi dua pejabat di Kementerian Kesehatan untuk memastikan stok obat ARV bisa segera terpenuhi. Tanpa obat yang harus ditenggak setiap hari itu, virus dalam tubuh akan beranak-pinak dan mengakibatkan pengidap HIV/AIDS rentan terkena penyakit lain. Apalagi saat itu virus corona sudah mulai mewabah ke berbagai penjuru dunia.
Ia juga mengeluhkan harga obat ARV di Indonesia yang berada di kisaran Rp 400 ribu. Padahal harga obat itu di pasar internasional hanya sekitar Rp 100 ribu. Menurut Aditya, Moeldoko berjanji menelusuri persoalan tersebut. Dihubungi terpisah, Moeldoko membenarkan dan mengaku masih mendalami masalah itu.
Kelangkaan obat ARV di berbagai wilayah, kata Aditya, terjadi sejak awal tahun ini. Ia mencontohkan, satu klinik kesehatan di Bali yang biasanya memiliki 1.200 botol obat ARV per bulan hingga pertengahan April hanya punya stok tak sampai belasan. Aditya mengaku menerima keluhan dari banyak pengidap HIV/AIDS di Bali dan berbagai wilayah lain.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo