Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LUBANG-lubang di sepanjang tanggul Jalan Pantai Mutiara di Jakarta Utara itu kini ada yang ditutupi dengan batu, ada juga yang dibiarkan menganga menunjukkan gerowong sedalam satu meter. Diameternya juga bervariasi, ada yang satu meter, bahkan dua meter.
Anak-anak muda atau keluarga yang membawa anak-anak bermain pasir sambil melihat senja mengambang di langit Muara Karang melihat lubang-lubang itu muncul tiga tahun terakhir. "Sebelumnya tak ada," ujar Irvan Susanto, warga Penjaringan yang rutin nongkrong di tembok tanggulnya setiap sore, pekan lalu.
Sebelum berlubang, kata Irvan, area itu jalan lurus dan beraspal. Setelah berlubang, jalan dibelokkan karena ada satu area yang berlubang selebar jalur pedestrian. Menurut Irvan, lubang-lubang itu sempat ditambal, tapi ambles lagi. Batu penambal lubang itu ketika diinjak memuncratkan air dan kepiting karena tanah di dalamnya lembek.
Tiga tahun lalu, jalan di pulau reklamasi pertama di Indonesia ini hilang terendam banjir. Menurut Hestyaningsih, remaja yang tinggal di sana, air laut pasang hingga melindapkan tanggul laut setinggi satu meter. Setelah itu, banyak muncul lubang di beberapa tempat. "Saya khawatir tiba-tiba satu pulau melorot ke dalam laut," ujarnya.
Ahli geologi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Wahyoe Soepri Hantoro, menilai amblesnya tanah di Pulau Mutiara terjadi karena pemampatan di dalam tanah akibat reklamasi. "Rumah-rumah bertingkat tinggi di sana membuat beban tanah kian berat," katanya.
Pulau Mutiara disebut-sebut sebagai contoh sukses reklamasi. Pulau seluas 80 hektare itu dikerjakan PT Taman Harapan Indah, anak usaha Intiland Group milik taipan Hendro Gondokusumo, dan selesai pada 1985. Idenya berasal dari Presiden Soeharto, yang ingin Jakarta punya wilayah permukiman baru dalam 50 tahun ke depan.
Ketika pembangunannya dilakukan, reklamasi ini juga ditentang para ahli lingkungan hidup. Soalnya, di seberang pulau berdiri Pembangkit Listrik Tenaga Uap Muara Karang. Di bawah lautnya tersimpan kabel-kabel untuk mengalirkan listrik ke Jawa. Jika tertimbun, utilitas itu bakal terganggu. Toh, reklamasi jalan terus, bahkan diklaim sukses oleh pemerintah Soeharto.
Tiga puluh tahun setelah pulau itu berdiri menjadi permukiman mewah, studi Institut Teknologi Bandung mencatat penurunan permukaan tanah di pulau reklamasi diperkirakan rata-rata 15 sentimeter per tahun. Sedangkan kenaikan permukaan air laut di pesisir Jakarta hanya 7,3 milimeter per tahun.
Meski rentan terjadi banjir karena penurunan tanah reklamasi akibat beban berat pulau buatan, pemerintah tak kapok meneruskan reklamasi di Teluk Jakarta. Sepuluh tahun setelah Teluk Muara Karang menjadi pulau, Presiden Soeharto menerbitkan lagi aturan tentang reklamasi 17 pulau di utara Jakarta pada 1995. Luas totalnya 5.153 hektare dan akan menghilangkan 10 persen laut.
Reklamasi pantai utara Jakarta itu ditabalkan melalui Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995. Pengembang yang mendapat izin dari pemerintah Jakarta untuk melaksanakan keputusan itu di antaranya PT Kapuk Naga Indah, anak usaha Agung Sedayu Group, yang didirikan pada 1990; PT Muara Wisesa Samudra, anak usaha Agung Podomoro Group; PT Manggala Krida Yudha; dan PT Jaladri Ekapaksi.
Manggala dan Jaladri adalah dua perusahaan yang didirikan khusus oleh Soeharto untuk mengembangkan pulau-pulau itu. Operasi kedua perusahaan itu oleh Soeharto dipercayakan kepada kedua anaknya, Siti Hutami Endang Adiningsih alias Mamiek dan Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto.
Runtuhnya rezim Orde Baru membuat kedua perusahaan itu dijual. Manggala dibeli pengusaha bernama Sudjono. Deputy Director Business PT Manggala Krida Yudha Djen Rizal mengatakan pemilik saham baru tak punya hubungan apa pun dengan Mamiek. "Sudah tak ada," ujarnya.
Sejak izin-izin itu terbit pada 1995, perusahaan pengembang telah puluhan kali memperbarui izin karena semua perizinan habis pada 2013. Kepala Biro Tata Ruang dan Lingkungan Hidup DKI Jakarta Vera Revina Sari mengatakan pemerintah telah memperpanjang izin prinsip reklamasi untuk beberapa pulau, seperti Pulau P dan Q milik PT Kawasan Berikat Nusantara, juga kepada PT Muara Wisesa selaku pemegang konsesi reklamasi Pulau G.
Menurut Vera, ada tiga izin yang harus dimiliki perusahaan pengembang sebelum mulai menguruk laut. Izin prinsip reklamasi meliputi pelbagai kajian, seperti analisis mengenai dampak lingkungan dan hidrodinamika. Semua syarat itu harus dipenuhi selama dua tahun. Setelah itu, mereka boleh mengajukan permohonan izin pelaksanaan dan pemanfaatan laut kepada pemerintah.
Dari delapan pengembang pemegang konsesi 17 pulau, hanya PT Kapuk Naga Indah yang telah memiliki izin pengurukan. "Mereka sudah menyelesaikan analisis mengenai dampak lingkungan," ucap Vera. Analisis tersebut disetujui pemerintah Jakarta pada 2012.
Meski berwenang penuh atas kendali reklamasi, pemerintah Jakarta hanya berhak atas lima persen lahan dari total konsesi tiap pengembang. Karena itu, Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama membuat syarat tambahan soal pengelolaan publik kepada mereka, seperti penanganan banjir serta pembuatan waduk, taman kota, rumah susun, dan rumah pompa. "Sebetulnya saya ingin pemerintah punya lahan 70 persen di tiap pulau," katanya.
Menurut Basuki, problem utama reklamasi adalah banjir di daratan Jakarta. Beban 13 sungai akan semakin berat karena aliran di muara tertahan oleh pulau-pulau itu. Selat selebar 200-300 meter yang memisahkan pulau dengan daratan dikhawatirkan menjadi kolam raksasa yang menampung segala limbah dari sungai itu.
Berbeda dengan Pantai Mutiara, yang tak jauh dari rumah pribadi Basuki, 17 pulau tak hanya untuk kawasan permukiman. Pulau-pulau yang diberi nama sesuai dengan abjad ini akan menjadi lokasi perkantoran, perdagangan dan jasa, pariwisata, industri, serta pergudangan, yang luasnya 40-60 persen dari total lahan tiap pulau. Zona timur dikuasai perusahaan daerah serta PT Pelabuhan Indonesia II untuk pergudangan dan pelabuhan.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Tuty Kusumawati mengatakan setiap pengembang wajib membangun ruang terbuka hijau dan biru yang luasnya masing-masing minimal 30 persen dan 5 persen dari luas total pulau. "Dikembangkan serasi dengan hutan lindung yang sudah ada," ujarnya.
Jika sudah beroperasi, pulau-pulau itu akan dihuni 750 ribu jiwa. Pada siang hari, daratan baru ini didiami 1,4 juta jiwa, termasuk para pekerja dari Ibu Kota dan sekitarnya. Karena itu, kata Tuty, pengembang wajib menyediakan transportasi publik, jaringan jalan antarpulau, jaringan utilitas, sarana pengolahan limbah, dan pantai publik. Hingga reklamasi dimulai, belum ada desain transportasi publik yang terintegrasi dengan transportasi di daratan Jakarta.
Bisa dibayangkan beban berat pulau-pulau reklamasi itu kelak. Menurut Wahyoe Soepri Hantoro, jika persiapannya tak matang, bukan tak mungkin amblesnya jalan dan tanah di Pantai Mutiara akan terjadi di 17 pulau baru itu puluhan tahun mendatang.
Erwan Hermawan, Dini Pramita, Hussein Abri Yusuf
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo