Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Arsip

Cerita Lady Biker Kenal dan Mengendalikan Moge

Ada yang sejak awal sudah tomboy, ada juga lady biker yang hanya bisa menggowes sepeda, tiba-tiba harus belajar mengendarai moge.

30 September 2017 | 20.02 WIB

Lady Biker Harley Davidson Club Indonesia Tangerang, Ollie Meutia Berpose diatas Motor Harley Davidson di Rukan Permata Senayan, Jakarta. TEMPO/Ilham Fikri
Perbesar
Lady Biker Harley Davidson Club Indonesia Tangerang, Ollie Meutia Berpose diatas Motor Harley Davidson di Rukan Permata Senayan, Jakarta. TEMPO/Ilham Fikri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Motor gede atau moge identik dengan “mainan” laki-laki. Tapi di masa kini, kaum perempuan juga bisa mengemudikan moge. Olie Meutia, salah satu lady biker moge yang tergabung dalam Harley Davidson Club Indonesia Tangerang mengatakan pada awalnya “terpaksa” mengenal sepeda motor Harley karena itulah bidang kerjanya saat berusia 23 tahun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

“Saya harus meyakinkan pembeli, sebab itu harus bisa bawa sepeda motornya,” kata Olie kepada Tempo. Awalnya dia mempelajari jenis sepeda motor Harley Davidson dan ciri khasnya. Setelah itu, dia mulai belajar teori berkendara, khususnya motor besar yang berat dan mesinnya cukup panas itu. “Praktik kira-kira satu bulan, lalu bisa bawa, langsung touring,” kata Olie, 31 tahun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebelum mengenal moge, Olie mengaku hanya bisa mengendarai sepeda roda dua. Bahkan sepeda motor biasapun dia tak bisa mengemudikannya. Di situlah tantangan terbesarnya. Olie mengatakan sepeda motor Harley Davidson identik dengan bentuk yang lebar, bobotnya berat, dan “lelaki banget”. “Tapi saya malah ketagihan dan ingin membuktikan kalau perempuan juga bisa mengemudikan moge,” ujar Olie yang mulai mengendarai motor gede sejak 2010.

Pengalaman berbeda dirasakan Tike Larasati ketika berkenalan dengan sepeda motor gede. Pada 2007, Larasati berhasil memenangkan perkara kliennya di bidang batu bara. Sebagai tanda terima kasih, kliennya berjanji mengabulkan apapun permintaan Larasati. “Saya kira bercanda karena sebagai pengacara kita sudah cukup terima fee saja,” ujarnya.

lTike Larasati di atas sepeda motor Harley Davidson Sportster Iron 883 miliknya di Sunbreeze Hotel, Jakarta.

Lantaran terus didesak, Larasati iseng menunjuk sebuah gerai sepeda motor Harley Davidson saat melintas di Jalan Sultan Iskandar Muda, Jakarta Selatan, bersama kliennya tadi. “Ya sudah, bawa saja tuh pulang,” ujarnya asal. Dua hari kemudian, Larasati mendapati sebuah sepeda motor Harley Davidson Sportster Iron 883 terparkir di garasi rumahnya. “Mampus gue, beneran ini. Sudah ada barangnya di rumah, kenapa enggak dipakai.”

Buat Larasati, mengendarai sepeda motor bukan pengalaman baru. Dia sudah mahir mengemudikan sepeda motor Honda CB di usia 11 tahun. “Saya suka trek-trekan sama anak kampung waktu tinggal di Roxy dulu,” ujarnya.

Namun Larasati tak serta-merta mengemudikan moge hadiah itu. Dia mesti belajar safety riding sebanyak dua kali sebelum membawa mogenya melenggang di jalanan Ibu Kota. “Kalau bisa naik sepeda motor apa saja, naik Harley juga pasti bisa. Dijamin,” ucapnya.

Jika sebagian besar orang berpendapat pengendara moge itu arogan dan berlagak, begitu juga dengan yang dirasakan Briza Sunarto. Namun dia tak kuasa membendung hobi suaminya akan sepeda motor gede Harley Davidson. Walhasil, sejak tahun 2000, Briza selalu ikut serta dalam kegiatan klub moge dengan menjadi boncenger alias selalu duduk di belakang sopir.

“Saya dulu ngenyek orang yang pakai Harley. Sepeda motor mahal tapi hujan tetap kehujanan dan mencari tempat berteduh kan? Aksesorisnya juga mahal,” kata Briza. “Aku sering melarang suami ketika hendak touring karena merasa tidak ada manfaatnya.”

Pengendara Harley Davidson Briza Sunarto (kaos merah) dan Olie Meutia (kaos oranye) saat mengendarai sepeda motor gedenya di Jakarta. TEMPO | Rini Kustiani

Namun satu kali pandangan Briza tentang moge berubah. Ketika menghadiri acara Harley Davidson Club Indonesia, dia melihat beberapa perempuan pengemudi moge tampak menarik. “Saat itu juga saya bilang ke suami, ‘gue bisa bawa itu’,” ujarnya sambil menunjuk sepeda motor Harley Davidson yang berjejer di parkiran. Sunarto menyambut semangat istrinya dengan membelikan Harley Davidson Heritage Softail Classic pada 2010.

Briza kemudian belajar mengemudikannya selama sekitar satu bulan. Bagi Briza, mengendarai sepeda motor juga buka hal baru. Perempuan tunggal dari tiga bersaudara ini terbilang tomboi sejak remaja. Ketika SMA sampai kuliah, dia kerap mencuri kesempatan supaya bisa mengendarai sepeda motor Vespa ayahnya.

Buat mereka yang hendak menjajal mengendarai moge, Larasati mengatakan yang utama pastikan posisi duduk di tengah agar seimbang. “Kalau sudah jalan, ditahan pakai dua jari saja sudah pasti seimbang,” ujarnya. Yang patut diwaspadai saat mengendarai moge adalah kondisi di tikungan. Jika sepeda motor sudah miring dan posisi rawan jatuh, Larasati menyarankan agar lepaskan kendali.

“Ini sepeda motor berat, jadi sebaiknya lepaskan saja karena kakimu lebih mahal. Soal mesin kan ada engine guard-nya. Setelah itu, minta tolong 4 sampai 5 orang untuk berdirikan lagi sepeda motor,” ujarnya.

Larasati pernah mengalami kecelakaan di Depok saat hendak berbelok dan mendadak ditelikung angkutan kota. Waktu itu kondisi jalanan sepi karena bertepatan dengan malam Takbiran. Dia lantas mencari bantuan melalui grup pengemudi moge. “Waktu itu saya ditolong oleh seseorang bernama Jiun (Varuna Thema), padahal saya tak kenal siapa dia,” ujar Larasati. Saat bertemu, menurut Larasati, Jiun berkata, “kamu yang namanya Larasati, yang ke mana-mana sendirian?”

Lady Biker Harley Davidson Club Indonesia Tangerang,Dina Maria (kiri), Ollie Meutia, Briza Meilani, Lararasati, Sedang mengendarai motor Harley Davidson di Rukan Permata Senayan, Jakarta. TEMPO/Ilham Fikri

Senada dengan Larasati, Briza mengatakan ketika mengendarai moge saat berbelok dan terus menahan tapi tak kunjung seimbang, maka pengemudi harus ‘berpisah’ dari sepeda motornya. “Karena sepeda motor itu berat, kita enggak boleh menahan. Jadi harus lepas dengan meloncat,” ujarnya. Melepaskan sepeda motor berguna untuk menghindari luka yang lebih parah bahkan risiko terkecil, yakni keseleo. “Dulu saya berpikir, duh sayang motornya kan mahal. Tapi sekarang saya tahu lebih mahal badannya.”

Olie menyarankan setiap pengendara moge mengetahui karakteristik tunggangannya. “Harley Davidson banyak tipenya. Meski ada yang kecil bentuknya, tapi mesinnya besar. Kalau dipakai terasa sekali tarikannya atau sangat responsif,” ujarnya. Namun demikian, menurut Olie, sebagian besar lady biker justru tak tahu informasi ini.

“Biasanya perempuan kalau ke gerai tinggal tunjuk saja. Ini bagus, aksesoris ini lucu,” ujarnya sambil tertawa. “Bahkan ada yang tertarik dengan moge orang lain padahal sama dengan jenis moge miliknya. Cuma beda cat saja dan ada tambahan aksesoris.”

Soal karakter berkendara, Briza menjelaskan lady biker lebih mengikuti perasaan, berhati-hati, dan tidak banyak bermanuver di jalan. “Misalnya pas mau ngebut, sudah ambil posisi tapi sepertinya enggak bisa, ya enggak memaksa. Kalau cowok kan bisa nekat, dan ambil risiko yang tipis-tipis,” ujar Briza.

Briza juga selalu ingat pesan suami tentang pentingnya kondisi tubuh saat berkendara. “Kalau kurang fit, jangan jalan. Jangan dipaksakan karena nanti tak bisa konsentrasi,” ujarnya.

RINI KUSTIANI

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus