Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Christina Rantetana: Di Laut Ia Jaya

18 Desember 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAUT Cina Selatan tak pernah bisa diduga. Sesekali mengalun tenang, tapi lebih kerap bergelombang. Di atas Kapal Republik Indonesia (KRI) Pattimura, Letnan Dua Christina Rantetana muntah-muntah setiap kali kapal terguncang. Namun hatinya berbunga. Ketika itu, awal 1980, perempuan anggota Korps Wanita Angkatan Laut (Kowal) diijinkan mengikuti operasi militer di laut lepas. Ia salah satunya, bersama empat rekan wanita.

Operasi Bhakti Surya Bhaskara Jaya itu bukan operasi tempur. Kapal hanya berkeliling pulau-pulau Natuna memberikan pelayanan kesehatan. "Waktu itu, tidak terbersit sedikit pun, saya bisa jadi laksamana," katanya.

Tapi, siapa sangka 22 tahun setelahnya, hal yang tak terbersit malah jadi kenyataan. Pada 1 November 2002, di usia 47 tahun, perempuan kelahiran Tana Toraja ini dilantik menjadi Laksamana Pertama TNI oleh Kepala Staf TNI AL Laksamana Bernard K. Sondakh. Christina bersama Brigadir Jenderal Kartini dari Angkatan Darat dan Marsekal Pertama Rukmini dari Angkatan Udara adalah tiga wanita berpangkat jenderal sepanjang sejarah militer modern negeri ini.

Perjalanan karir menuju jenderal jelas tidak mudah. Kesulitan itu berlipat-lipat untuk wanita "Sampai sekarang, anggota perempuan masih berfungsi sebagai staf pendukung di bagian administrasi atau kesehatan," ujarnya. Jalur itu yang ditapaki Christina. Ia masuk Sekolah Militer Sukarelawan di Bandung setelah lulus sekolah perawat di Makassar pada 1978. Penugasan pertamanya di Rumah Sakit TNI-AL di Tanjung Pinang, Riau.

Yang membuat Master of Public Health dari Tulane University, AS ini unggul adalah ketekunan dan disiplinnya. Dia siap ditugaskan ke mana saja. Dari Riau, wanita ini dipindah ke Surabaya, lalu ke Jakarta dan terakhir bertugas di Jayapura, Papua.

"Saya tidak pernah menolak tugas, bagaimanapun beratnya," kata Christina. Di tahun 1997 misalnya, dia ditugaskan menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Padahal tak sepercik pun ia pernah merasakan kursus sosial politik. Nyatanya, ketekunannya membuat ia bertahan delapan tahun di Senayan.

Prestasi ibu 5 anak ini tidak membuatnya besar kepala. Menurutnya, banyak tentara perempuan yang saat ini berpangkat letnan kolonel yang punya kemampuan setara dirinya. Hanya kursi perwira tinggi memang amat terbatas.

Pemimpin TNI-AL bukannya tak berpikir memberi peran lebih besar untuk para wanita samudera ini. Pada 1995, Christina dan seorang koleganya dikirim ke Royal Australian Navy selama tiga bulan. Mereka diminta mengkaji kemungkinan menempatkan anggota Kowal di atas kapal.

Naiklah Christina ke atas HMS Tobruk. Sebagian awak kapal perang itu perempuan. Tiga hari ia ikut berlayar dari Cairn ke Sidney. Ketika ia bertanya pada komandan kapal cara menangani awak kapal perempuan, jawaban tegas didapatnya. "Tidak ada perlakuan istimewa. Tugas, kewajiban, hukuman pun sama dengan awak laki-laki."

Kajian itu kemudian diterapkan di atas KRI. Sayang, awak perempuan diperlakukan istimewa dan itu membuat proyek hanya berjalan dua tahun. Terjadi keresahan internal karena banyak protes.

Ini dialami sendiri oleh Christina. Dalam operasi pertamanya di atas KRI Pattimura contohnya, komandan kapal mengijinkan semua awak perempuan-termasuk yang bintara-menggunakan ruang perwira. Ini jelas melanggar prosedur standar karena perwira dan bintara harus mendapat perlakuan berbeda, sesuai jenjang kepangkatannya.

Perlakuan istimewa untuk perempuan ini, menurutnya, justru merusak. "Ini memang masalah budaya," katanya. Staf ahli di Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan itu tidak pernah setuju perempuan diperlakukan berbeda dengan laki-laki, terlebih di dunia militer yang keras dan amat maskulin.

Mengubahnya tidaklah sulit: Bebaskan perempuan untuk bersaing masuk di akademi militer-hal yang sudah dilakukan di akademi kepolisian. "Didik taruna dan taruni dengan ilmu yang sama, tanpa perbedaan." Dia yakin, jika muara pendidikan tentara perempuan dan laki-laki di militer sudah sama, maka proses penjenjangannya ke atas pun akan lebih setara.

Kalau ide ini diterima, laksamana dan jenderal perempuan di Indonesia tak akan jadi mahluk langka seperti sekarang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus