Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Mataram - Circle of Imagine Society (Cis) Timor menyatakan laki-laki masih mendominasi pengambilan keputusan dalam sektor energi. “Kami mendorong perempuan terlibat dalam kepemimpinan dan pengambilan keputusan karena ketika kita bicara energi, secara tidak sadar, laki-laki yang ada untuk memutuskan itu,” kata Gender Officer Program Care Cis Timor, Lusia Carningsih Bunga, dalam diskusi transisi energi di Nusa Tenggara Timur (NTT), yang digelar di Hotel Lombok Raya, Mataram, Senin, 28 April 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Lusia, yang akrab disapa Ningsih, mengatakan sektor energi cenderung identik dengan laki-laki, hal tersebut membuat akses perempuan terhadap informasi energi menjadi terbatas. Akibatnya, banyak perempuan tidak memahami pemanfaatan energi yang sebenarnya dapat membantu pekerjaan mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ningsih mencontohkan ibu rumah tangga yang harus berjalan berkilo-kilometer untuk mendapatkan air bersih. “Jika hal ini dikolaborasikan dengan tenaga surya, itu akan meringankan perempuan,” ujarnya, merujuk pada penggunaan pompa air tenaga surya.
Ia menambahkan, pemahaman perempuan terhadap sektor energi dapat berdampak langsung pada keseharian mereka. Ningsih menuturkan sejumlah komunitas perempuan di desa-desa di Nusa Tenggara Timur telah membuat tungku hemat energi berbahan semen untuk mengurangi ketergantungan pada gas elpiji atau kayu bakar. Selain ramah lingkungan, tungku ini juga lebih aman bagi kesehatan karena menghasilkan lebih sedikit asap. “Inilah yang ingin kami majukan untuk perempuan, pengetahuan terlebih dahulu,” kata Ningsih.
Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Mike Verawati Tangka, menyebut konstruksi sosial menjadi penyebab utama minimnya keterlibatan perempuan dalam sektor energi. “Paradigma penyedia edukasi, penyedia informasi masih menganggap perempuan jauh dari pengetahuan energi; energi bukan pengetahuan perempuan,” ujarnya.
Mike juga menyoroti adanya anggapan bahwa isu-isu seperti infrastruktur, perubahan iklim, keuangan, ekonomi, dan energi adalah ranah maskulin. “Sehingga kalau perempuan cawe-cawe di isu ini (terkesan) agak aneh,” ujarnya.
Menurut Mike, partisipasi perempuan dalam kebijakan atau tata kelola energi kerap terbatas pada mereka yang memiliki latar belakang pendidikan yang sesuai. “Dia baru bisa bicara kalau dia punya keilmuannya. Ini yang harus di-branding dalam kerja-kerja pengorganisasian,” kata Mike.
Ia menilai kebijakan energi saat ini belum dirancang berdasarkan pengalaman perempuan. Akibatnya, perempuan kesulitan memperjuangkan kebutuhannya, termasuk akses terhadap energi baru terbarukan (EBT).
Mike mendorong perempuan dan kelompok marjinal mengembangkan kapasitas mereka di sektor energi. Ia yakin perempuan memiliki kompetensi dan kontribusi penting dalam transisi energi. “Jangan rendah diri, yang kamu lakukan itu memperjuangkan situasi di mana krisis energi terjadi,” ujarnya.
Ia juga menekankan pentingnya keterampilan komunikasi agar perempuan dapat menyuarakan pandangan mereka, termasuk saat mengusulkan kebijakan atau mengajukan anggaran proyek energi terbarukan kepada pemerintah.
Pilihan editor: Transisi Energi Inklusif di Tangan Perempuan Desa Nusa Tenggara