Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sepanjang 2017 hingga Februari 2018, KPK menangkap delapan kepala daerah yang hendak maju lagi, atau mencalonkan anggota keluarganya, dalam pemilihan kepala daerah serentak. Modus korupsinya beragam, dari memperdagangkan jabatan hingga menarik fee dari proyek daerah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wakil Ketua KPK, Basaria Panjaitan, mengatakan duit korupsi diduga bukan hanya digunakan sebagai modal maju lagi dalam pilkada. Kepala daerah juga memburu komisi untuk mengembalikan modal yang mereka keluarkan dalam pilkada sebelumnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca juga: KPK Menahan Bupati Subang Imas Aryumningsih
“Kami mengingatkan para kepala daerah agar tidak melakukan praktik semacam itu," ujar Basaria, di Jakarta, seperti dimuat Koran Tempo, Kamis, 15 Februari 2018.
Daftar kepala daerah yang menjadi pasien KPK bertambah menjadi sembilan, setelah Komisi ini menetapkan Bupati Subang Imas Aryumningsih sebagai tersangka penerima suap. Ia diduga menerima duit Rp 1,4 miliar untuk modal pencalonannya dalam pemilihan Bupati Subang, Jawa Barat. Selain duit, politikus Partai Golkar itu menerima gratifikasi berupa baliho kampanye dari pengusaha yang tengah mengurus izin pabrik di Subang.
Pada Minggu, 11 Februari 2018, KPK menangkap Bupati Ngada, Nusa Tenggara Timur, Marianus Sae. Calon Gubernur NTT yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Kebangkitan Bangsa itu diduga menerima suap Rp 4,1 miliar dari pemenang proyek infrastruktur jalan di Kabupaten Ngada.
Sepekan sebelumnya, KPK juga menetapkan Bupati Jombang, Jawa Timur, Nyono Suharli Wihandoko, sebagai tersangka suap perizinan pengurusan jabatan. Nyono adalah salah seorang calon Bupati Jombang.
Pada 31 Januari 2018, KPK menetapkan Rudi Erawan, Bupati Halmahera Timur, Maluku Utara, sebagai tersangka. Calon Gubernur Maluku itu diduga menerima suap Rp 6,3 miliar dari sejumlah kontraktor proyek jalan nasional di daerahnya.
Basaria mengatakan pilkada serentak tahun ini memang rentan kasus korupsi, terutama untuk mencari modal kampanye. Karena itu, KPK akan mengerahkan seluruh pegawainya yang berjumlah 1.500 orang untuk ikut mengawasi. “Jangan penyelidik saja yang turun mengawasi, tapi semua datang dan turun agar tidak terjadi penyimpangan,” kata dia.
KPK juga telah memantau sepuluh provinsi melalui program koordinasi dan supervisi. Nyatanya, kasus korupsi oleh kepala daerah tetap saja marak. Sejak pertengahan 2017, KPK menetapkan 15 kepala daerah sebagai tersangka. Lima di antaranya berasal dari provinsi yang bekerja sama dalam koordinasi dan supervisi dengan KPK.
“Ini ironi. Karena yang tertangkap biasanya bersama jajaran di bawahnya,” kata Wakil Ketua KPK, Laode M. Syarif. Menurut dia, pemberantasan korupsi di daerah harus disertai dukungan dan komitmen kuat dari jajaran perangkat daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta pemangku kepentingan lainnya.
Ini delapan kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK: Imas Aryumningsih (Subang), Marianus Sae (Ngada), Taufiqurrahman (Nganjuk), Rudi Erawan (Halmahera Timur), Nyono Suharli Wihandoko (Jombang), Rita Widyasari (Kutai Kartanegara), Eddy Rumpoko (Batu), Siti Masitha Soeparno (Tegal).