Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dari Dunia Personal Film Nasional

Beragam tema mewarnai perfilman Indonesia pada 2015.

Dari film berbujet besar tentang biografi tokoh bangsa sampai film mengenai toleransi beragama. Di samping itu, makin banyak sutradara menggarap kisah dan dilema personal dengan anggaran kecil.

Pada awal Januari 2016 ini, kami menyajikan film-film 2015 pilihan Tempo. Kami menyeleksi film mana, sepanjang 2015, mulai Januari sampai Desember, yang layak menjadi nomine. Lalu kami mendiskusikan, memperdebatkannya, dan memilih pemenangnya. Tentu ada kemungkinan pilihan Tempo berbeda atau sama dengan pilihan festival resmi, katakanlah Festival Film Indonesia. And the winner is....

4 Januari 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tahun 2015, dunia perfilman Indonesia diwarnai suguhan film-film dengan beragam tema dan sebagian besar mencuri banyak perhatian penonton. Selain menggarap film tentang tokoh seperti Guru Bangsa Tjokroaminoto dan Jenderal Soedirman, para sineas memproduksi film dengan latar politik yang cukup menarik. Di antaranya Di Balik 1998 dan 2014: Siapa di Atas Presiden. Ada pula film bertema toleransi kehidupan beragama, Mencari Hilal.

Lalu film yang memotret kehidupan kaum pinggiran. Siti, arahan sutradara Eddie Cahyono, mengisahkan romantika kehidupan miskin di kampung nelayan. A Copy of My Mind (Joko Anwar) bercerita tentang denyut kehidupan marginal di Ibu Kota. Tahun 2015 juga diwarnai film yang mengangkat tema yang lebih personal dan intim. Misalnya film About a Woman, yang berkisah tentang seorang perempuan kesepian. Kapan Kawin bercerita seputar seorang perempuan berusia 30-an yang terus didesak orang tuanya agar segera menikah.

Yang juga cukup menggembirakan dunia sinema kita tahun ini adalah upaya orang-orang film untuk terus memperbaiki Festival Film Indonesia. Sejak menerapkan sistem penjurian baru, yang mengadaptasi cara yang digunakan dalam Academy Awards di Amerika Serikat, para peraih Piala Citra festival film tahunan yang digelar sejak 1955 itu menjadi lebih beragam dan boleh dibilang kian berbobot.

Tempo, sebagai media yang peduli terhadap perkembangan perfilman Indonesia, memiliki tradisi memilih film terbaik. Dari ratusan film yang dirilis pada 2015, kami membuat daftar kandidat dan menontonnya satu per satu. Film yang kami pilih tak harus diputar di bioskop komersial. Kami memilih semua film yang dirilis sepanjang 2015 asalkan film tersebut telah diputar di depan publik, seperti di festival.

Kami kemudian menyeleksi, mendiskusikan, dan memperdebatkannya sebelum memilih pemenangnya. Penentuan pemenang tidak kami lakukan sendiri. Selain anggota redaksi Tempo yang biasa meliput, menulis, dan menyunting tulisan film, seperti Leila S. Chudori, Seno Joko Suyono, Nurdin Kalim, Firman Atmakusuma, Nunuy Nurhayati, Dian Yuliastuti, Amandra M. Megarani, dan Moyang Kasih Dewimerdeka, kami mengundang pengamat dari luar redaksi. Kali ini kami mengundang Rayya Makarim, kritikus film yang juga dikenal sebagai penulis skenario.

* * * *

Perdebatan berlangsung alot ketika menentukan siapa saja yang layak sebagai pemenang. Semua peserta pemilihan film versi Tempo mengemukakan argumen masing-masing. Dari hasil beberapa kali diskusi, secara keseluruhan film About a Woman arahan sutradara Teddy Soeriaatmadja meraih penghargaan Tempo terbanyak. Dalam versi kami, film itu menyabet Film Terbaik, Sutradara Terbaik, Aktris Terbaik, dan Skenario Terbaik.

Film Teddy About a Woman adalah jenis film personal. Sebuah film yang juga tak dibuat dengan biaya mahal. Film ini tak beredar di gedung bioskop komersial tapi pernah diputar di Balinale International Film Festival di Bali pada akhir September lalu. Film ini tak dimasukkan Teddy ke Festival Film Indonesia (FFI) karena salah satu persyaratan FFI adalah film yang telah lolos Lembaga Sensor Film (LSF). Sedangkan Teddy tak ingin filmnya dipotong oleh LSF.

Untuk kandidat film terbaik, semula ada lima film yang kami "pertandingkan": Mencari Hilal, Siti, A Copy of My Mind, Guru Bangsa Tjokroaminoto, dan About a Woman. Tapi kami kemudian sepakat memilih About a Woman sebagai film terbaik dan Teddy sebagai sutradara dan penulis skenario terbaik. "Teddy menguasai dan memahami filmnya secara menyeluruh, sehingga mengantarkan About a Woman sebagai sebuah karya seni yang utuh," kata Rayya Makarim.

Film About a Woman bercerita tentang seorang ibu lewat baya. Teddy mengandalkan skenario dengan cerita sederhana yang serba minimalis: irit karakter, satu lokasi, dan minim dialog. Teddy lebih banyak bercerita lewat gambar yang murung, sepi, dan sendiri. Tutie Kirana, yang berperan sebagai ibu, bermain dengan pengadeganan yang menekankan gestur-gestur kecil. Tutie mampu mengeksplorasi dengan baik perubahan-perubahan kecil dalam diri perempuan yang dia perankan. Saat ia melihat Abi, pemuda 17 tahun pendatang baru di rumahnya, berganti baju di hadapannya, ekspresinya berubah. Dia juga tampak cemburu melihat Abi berbincang akrab dengan gadis belia. Suasana itu dijaganya dari awal sampai akhir film.

Dalam pemilihan kami, pesaing Tutie Kirana adalah Sha Ine Febriyanti (Nay), Sekar Sari (Siti), dan Adinia Wirasti (Kapan Kawin). Dari empat kandidat, kami menyeleksi lagi sehingga mengerucut tinggal dua: Ine Febriyanti dan Tutie Kirana. Terus terang, sulit menilai dua aktris ini. Akting keduanya sama-sama kuat.

Ine Febriyanti berakting sebagai perempuan yang dilanda kepanikan luar biasa ketika mendapati dirinya hamil. Sembari menyetir dalam mobil, ia menelepon ke sana-kemari. Kepada pacar yang menghamili, kepada teman-teman terdekatnya.

Akting Ine Febriyanti dalam film Nay sangat memikat. Sepanjang film, pemainnya hanya satu. Ine sendiri. Seorang diri dalam mobil Ine mampu menghidupkan cerita. Ine bagaikan melakukan sebuah monolog. "Pada dasarnya akting Ine luar biasa. Tapi pada beberapa bagian terasa berlebihan," kata salah satu juri.

Adapun saat menentukan aktor pendukung pria terbaik, pilihan kami mengerucut pada dua kandidat: Tio Pakusadewo (Bulan di Atas Kuburan) dan Ringgo Agus Rahman (About a Woman). Salah satu poin diskusi kami saat membicarakan peran pendukung: betapapun porsinya kecil, ia mampu menghidupkan film. Permainan Tio Pakusadewo, sebagai orang Batak perantauan, kami anggap mampu membuat film Bulan di Atas Kuburan memiliki nyawa.

Poin itulah juga yang kami gunakan ketika menyaksikan akting Maera Panigoro. Maera memainkan karakter seorang tahanan kasus suap bernama Bu Mirna. Dalam adegan di sel penjara yang hanya sekitar 10 menit, dia berhasil menampilkan mimik yang membuat ciut lawan bicaranya, tanpa dia harus berkata-kata. Itu membuat kami memilihnya sebagai aktris pendukung terbaik.

Perdebatan kembali memanas ketika kami memilih kandidat aktor terbaik. Kami memilih Deddy Soetomo (Mencari Hilal), Reza Rahadian (Kapan Kawin), dan Chicco Jerikho (A Copy of My Mind). Ketiganya berhasil memerankan karakter masing-masing dengan baik, yang juga sama-sama menantang. Aktor kawakan Deddy Soetomo berperan sebagai Mahmud, bapak tua yang menempuh perjalanan mencari hilal bersama anaknya, Heli.

Akting Deddy wajar dan natural. Namun kami menilai ekspresinya datar dari awal sampai akhir. Adapun Chicco Jerikho memerankan sosok Alek yang memiliki profesi langka. Alek adalah penerjemah teks DVD bajakan di kawasan Glodok, Jakarta Barat. Chicco mampu meyakinkan kita bahwa memang ada pekerjaan underground demikian di dunia bajakan film. Akting Chicco sebagai "pelaku kecil bisnis haram DVD" saat melindungi pacarnya yang dikejar-kejar pembunuh juga terasa sangat natural. Pembaca, inilah argumentasi kami mengapa mereka yang kami pilih.


Tim Liputan Khusus Film Pilihan Tempo
Penanggung jawab: Seno Joko Suyono | Kepala proyek: Firman Atmakusuma, Nurdin Kalim | Koordinator: Amandra M. Megarani Tim pemilih dan penulis: Leila S. Chudori, Nurdin Kalim, Firman Atmakusuma, Nunuy Nurhayati, Dian Yuliastuti, Amandra M. Megarani, Moyang Kasih Dewimerdeka, dan Rayya Makarim | Penyunting: Seno Joko Suyono, Leila S. Chudori | Penyumbang bahan: Amandra M. Megarani, Dini Teja | Riset: Evan Koesumah, Danni Muhadiansyah | Bahasa: Uu Suhardi, Sapto Nugroho, Iyan Bastian | Foto: Jati Mahatmaji, Ijar Karim, Aditia Noviansyah, Wisnu Agung Prasetyo, Dhemas Reviyanto Atmodjo | Desain: Eko Punto Pambudi, Djunaedi, Gatot Pandego, Tri Watno Widodo, Kendra Paramita

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus