Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setiap jengkal Jakarta tertulis di tubuhnya. Tubuh kekar dengan rambut putih itu milik lelaki Jerman berusia 64 tahun bernama Gunther Holtorf. Dialah seorang pembuat peta Jakarta legendaris yang lebih mengenal Jakarta bagai mengenal pori-pori tubuhnya.
Di sebuah malam, misalnya, ketika TEMPO meluncur dengan mobil Kijang biru tua miliknya melalui Jalan Proklamasi, Diponegoro, Rasuna Said, menuju Hotel Grand Melia di kawasan Kuningan, Gunther mengenal setiap jengkal itu dengan fasih dan menghindar semua lubang jalanan, karena, "Saya seperti hafal setiap lubang yang ada di areal Rasuna Said," ujar si sopir sambil tertawa lebar. Tanyakan kepada Gunther, setiap sudut Jakarta yang ingin Anda ketahui, dan jawabannya meluncur dalam beberapa detik. Misalnya ketika dia ditanya di manakah letak Jalan Sigura-gura di Kompleks Perumahan PLN Jakarta Pusat? Bak menjawab sebuah acara kuis di televisi, ia hanya memerlukan dua detik untuk menguraikannya: "Sigura-gura terletak berdekatan dengan sebuah "rawa kecil" yang sudah kering, berdekatan dengan Jalan Timo, lapangan basket, dan keluar ke arah Jalan Duren Tiga Raya..., yang sekarang rimbun di kedua sisinya." Bagaimana caranya menghindari kemacetan di Ciledug? Demikian wartawan TEMPO bertanya dengan gaya seorang Helmi Yahya dalam sebuah kuis. Maka Gunther akan menguraikan jalan-jalan tikus yang bisa menjadi alternatif. Pokoknya, angka 100 untuk Gunther.
Tiap jengkal Jakarta memang tertulis di seluruh kulit tubuh pria kelahiran Gottingen, Jerman ini, karena sejak 23 tahun lalu Gunther tak berhenti sekadar jadi penggagas dalam pembuatan peta Jakarta. Ia betul-betul terjun langsung ke lapangan, keluar-masuk gang naik mobil, bersepeda, ataupun berjalan kaki demi mengecek akurasi data. Ia melakoninya tidak cuma satu kali, tapi tiap kali edisi baru akan diterbitkan. Padahal, tiap kali pengecekan butuh waktu berbulan-bulan.
Ketekunan Gunther disebutnya sendiri sebagai ciri khas karakter orang Jerman. Bila satu pekerjaan sudah dimulai, harus selalu dilanjutkan untuk peningkatan mutu.
Syahdan, pada 1973, Gunther Holtorf yang berpendidikan ekonomi dan pernah belajar menerbangkan pesawat ini ditempatkan maskapai Lufthansa sebagai manajer di Jakarta. Saat itu, saban ada tamu asing datang, mereka selalu minta tolong Gunther untuk petunjuk jalan. Demi memberi kepuasan, Gunther mulai corat-coret menggambar sketsa jalan yang dikenalinya. Walau "peta" Gunther tidak lahir dari tangan kartografer yang sebenarnya, pujian mengalir terus-menerus karena sketsanya selalu membantu. Karena itulah, Gunther pun digosok kawan-kawannya agar membuat peta yang "serius". Maka ia pun bertandang ke Dinas Tata Kota Jakarta untuk mencari peta topografi yang akan dijadikannya sebagai peta dasar. Celaka, yang tersedia hanya peta tua Jakarta peninggalan Belanda. Alih-alih mendapatkan bahan, ia justru disarankan untuk membuat peta baru.
Tentu Gunther bukan sosok yang gampang menyerah. Ia gemar jalan-jalan dan ia ingin melakukan sesuatu. Maka, setiap pagi mulai dari pukul enam hingga sembilan, ia berkeliling Jakarta sebelum masuk kantor. Liburan akhir pekannya pun tersita demi pengumpulan data. Syukurlah, tepat pada Hari Jadi Jakarta ke-450 pada 1977, peta Gunther Holtorf sudah jadi dan diserahkannya ke Gubernur Ali Sadikin.
Bentuk peta pertama masih sederhana, berukuran 40 x 40 sentimeter, yang disebut Gunther sebagai peta anak-anak. Awal peta adalah kawasan Pantai Ancol yang berakhir di Gatot Subroto (dengan sedikit menyinggung kawasan Kemang, tempat tinggal Gunther). Kalibata dan Pasarminggu? Secara berseloroh Gunther menyebut kawasan itu pada 25 tahun lalu masih termasuk "luar negeri". Meski peta itu sangat bersahaja, Ali Sadikin menyambut gembira. Sebelumnya, tak ada peta yang menggambarkan Jakarta sekomplet itu.
Pada 1979 Gunther pindah tugas dari Jakarta. Namun hatinya telanjur tertambat di kota yang dialiri Kali Ciliwung ini. Buktinya, setiap mendapat libur, ia menyempatkan datang ke Jakarta untuk menyiapkan edisi terbaru. Rujukannya juga bertambah, seperti peta foto udara yang dulu memang belum dimiliki Jakarta. Selama di Jakarta, menu hariannya adalah 12-14 jam di jalanan. Teman jalannya adalah Christine, sang istri. Aneka peristiwa tentu saja dialami: termasuk yang pahit, yaitu dipalak preman. Namun ia tak kapok, karena yang sering ia temui adalah kehangatan dari penduduk. "Untuk meng-up date perubahan yang terjadi, saya harus mendatangi sendiri lokasinya, mencium sendiri, dan dari situ saya merasakan ada sesuatu yang berubah," kata Gunther.
Sampai edisi ke-8, peta buatan Gunther Holtorf masih berbentuk lembaran. Bentuk buku baru diwujudkan pada edisi ke-9 yang terbit pada 1992. Menurut Penerbit Djambatan, edisi yang dicetak sebanyak 65 ribu langsung ludes dalam waktu yang relatif singkat, sementara permintaan baru mengalir terus-menerus. Tampaknya, buku yang memuat informasi nama jalan, kode pos, dan nomor telepon kantor-kantor penting itu menjawab keperluan warga Jakarta. Sumbangan saran dan kritik pun datang deras. Biasanya, kritik datang dari warga yang jalan rumahnya tak masuk peta Gunther.
Sejak awal, pria yang pernah bertugas di beberapa negara Amerika Latin dan Afrika ini menyerahkan proses penggambaran peta pada Cartographia di Budapest, Hungaria. Alasannya, selain sudah terbiasa, para kartografer di perusahaan ini berpengalaman dalam membuat lembar peta, seting film, dan separasi kartu dalam keseluruhan proses.
Kesungguhan pria yang punya hobi fotografi ini dalam pembuatan peta Jakarta tak terputus selama 25 tahun. Untuk edisi ke-12 yang terbit tahun lalu, pengecekan terakhir dilakukan sampai bulan April 2001. Wilayah yang dicakup kian meluas. Wilayah selatan meliputi kawa-san Puncak, wilayah barat meliputi Tangerang, wilayah timur sampai Karawang. Informasi yang ia kumpulkan datang dari pelbagai penjuru, mulai dari para pengembang, Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional, Departemen Pekerjaan Umum, hingga Jasa Marga. Dalam menerima info, Gunther selalu memegang prinsip: mempercayai adalah sesuatu yang baik, tetapi melakukan kontrol itu lebih baik. Edisi terbaru disebut Gunther Holtorf sebagai bentuk kartografi baru. Dari segi desain, warna, dan penggambaran, edisi baru ini sangat berbeda dengan edisi sebelumnya. Selain itu, pengerjaannya pun sudah menerapkan teknologi digital dengan program komputer Macintosh Freehand, yang total proses pembuatannya memakan waktu 2 tahun, dengan 4 orang kartografer.
Sekalipun semakin mutakhir, peta Gunther pun masih menuai kritik. Peta ini disebut tak menggambarkan arus jalan. Gunther punya pembelaan yang masuk akal untuk hal ini. Di lapangan, ada tiga kesulitan yang ia temui: ada jalan yang boleh dilalui kecuali oleh roda tiga, ada jalan yang tidak boleh dilalui kecuali pada jam-jam tertentu, ada jalan yang tak boleh dilewati kecuali pada hari libur. "Jakarta memang kota kecuali," canda Gunther, yang juga mahir berbahasa Inggris dan Spanyol.
Sabine, putri Gunther Holtorf yang tinggal di Hong Kong, sebenarnya sudah menyarankan agar ayahnya berhenti menggeluti peta Jakarta. Namun Gunther menolak, karena ia menggeluti pekerjaan ini bukan karena dorongan finansial. Apalagi, menurut Gunther, petanya akan dijadikan acuan untuk standar peta masa depan oleh rekan sejawatnya di Eropa. Rencana barunya, membuat peta dalam bentuk CD ROM yang akan dirilisnya pada tahun 2003.
Dia memang sebuah "peta hidup" yang bernapas untuk Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo