Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Defisit Beras Semakin Panjang

Periode defisit beras pada 2024 diperkirakan berlangsung lebih panjang lantaran mundurnya masa tanam.
 

27 Desember 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Petani menunda menanam padi karena hujan belum stabil.

  • Defisit neraca beras berpotensi lebih panjang daripada biasanya.

  • Produksi beras yang berkurang akan berimbas pada harga.

DAMPAK fenomena iklim El Nino diperkirakan masih panjang terhadap pasokan pangan di Tanah Air. Musim kering ini menyebabkan mundurnya masa tanam padi yang akan berimbas pada bergesernya masa panen raya kali ini.

Musim tanam yang biasanya dimulai pada Oktober-November kini mundur ke Desember, bahkan Januari mendatang. Akibatnya, masa panen ikut mundur dari seharusnya dimulai pada Februari bergeser menjadi Maret atau April. 

Berdasarkan pantauan Tempo di beberapa sentra produksi padi, petani baru mulai menanam pada bulan ini. Petani di Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan, misalnya, baru mulai masuk masa tanam setelah wilayahnya diguyur hujan.

"Kami mulai menanam pada pekan lalu," ujar Ismail, petani asal Kecamatan Patampanua, Pinrang, kepada Tempo, kemarin. Ia memperkirakan panen berlangsung pada pertengahan Maret 2024. 

Mundurnya masa tanam juga terjadi di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Suganda, petani asal Desa Pegagan Kidul, juga baru mulai menanam sekitar dua pekan lalu. Ia mengatakan masa tanam terlambat dibuka lantaran air tidak kunjung masuk ke saluran irigasi. 

Metode tanam pun dilakukan dengan penyemaian yang tidak membutuhkan terlalu banyak air. Tujuannya supaya ketika air sudah masuk ke saluran irigasi, ia bisa segera mengolah lahan dan langsung menanam. "Mudah-mudahan tidak kena banjir," kata pria 58 tahun itu.

Petani Pantura Gagal Tanam  

Petani menanam padi di areal persawahan kering yang dialiri air memakai mesin pompa di Babelan, Bekasi, Jawa Barat, 5 September 2023. TEMPO/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Ayip Said Abdullah mengatakan sejumlah petani di sepanjang pantai utara Jawa sebenarnya sudah banyak yang mulai menyemai benih ketika hujan mulai turun bulan lalu. Namun, karena hujan ternyata hanya turun sesekali, padi yang sudah ditanam gagal tumbuh. "Petani sekarang lebih berhati-hati," katanya.

Menurut dia, saat ini sebagian besar petani dalam jaringan KRKP belum mulai mengolah lahan karena belum mendapat air yang cukup. Sebagian besar petani yang terlambat mengolah lahan adalah petani sawah tadah hujan. Para petani, Ayip mengimbuhkan, memilih menunggu pasokan air cukup ketimbang menghadapi risiko gagal panen karena menanam ketika hujan belum konsisten. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Terlebih, para petani juga harus berhitung karena pada masa tanam kedua dan sebagian masa tanam ketiga pada akhir tahun ini tak sedikit dari mereka yang merugi lantaran gagal panen akibat kekeringan serta serangan hama. Dengan musim hujan yang masih belum datang, Ayip memperkirakan masa tanam di beberapa daerah mundur hingga ke awal 2024. 

Temuan KRKP itu selaras dengan informasi yang dihimpun oleh Aliansi Petani Indonesia (API) pada akhir November hingga awal Desember lalu. Sejumlah petani mengaku telah menanam tatkala hujan turun pada kisaran 20 November lalu. Namun kemudian wilayah tersebut kembali kering sehingga tanaman gagal berkembang.

"Akhirnya, petani memutuskan memulai masa tanam pertama pada Januari 2024, kalau hujan sudah stabil," ujar Sekretaris Jenderal API Muhammad Nuruddin. 

Nuruddin menyebutkan informasi itu dihimpun dari para petani di Subang, Karawang, Purwakarta, Indramayu, Boyolali, Bojonegoro, Tuban, hingga Malang. Menurut dia, wilayah-wilayah tersebut hingga kini masih dilanda kemarau. Ia berujar wilayah yang bisa memulai masa tanam lebih dini adalah wilayah dengan irigasi teknis yang cukup baik, misalnya di wilayah selatan Jawa, seperti Sleman atau Bantul.

Paceklik Beras di Awal Tahun  

Pekerja melakukan bongkar-muat beras di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, 18 Desember 2023. TEMPO/Tony Hartawan

Nuruddin juga memperkirakan pasokan beras tipis pada awal tahun depan lantaran masa panen nasional mundur ke April-Mei 2024. Buntutnya, harga gabah diperkirakan masih bertahan tinggi hingga awal tahun depan di angka Rp 7.000-8.000 per kilogram. 

Sebagai informasi, Panel Harga Badan Pangan Nasional menunjukkan harga beras medium di tingkat pedagang eceran adalah sebesar Rp 13.150 per kg pada 26 Desember 2023, naik dari Rp 11.550 per kg pada awal 2023. Adapun harga beras premium Rp 14.940 per kg, naik dari Rp 14.140 per kg pada awal 2023. 

Pergeseran waktu produksi beras juga terlihat dari proyeksi produksi berdasarkan Kerangka Sampel Area Badan Pusat Statistik (KSA BPS) hasil amatan pada November 2023. Dari data tersebut, diperkirakan produksi pada Januari dan Februari 2024 hanya sebanyak 0,93 juta ton dan 1,32 juta ton. 

Padahal produksi beras nasional pada Januari 2023 mencapai 1,34 juta ton dan pada Februari 2023 sebesar 2,85 juta ton. Penurunan produksi 2024 disebabkan oleh berkurangnya luas panen pada Februari 2024 dibanding periode yang sama pada tahun lalu seluas 940 ribu hektare menjadi 453 ribu hektare.   

Defisit Beras 2,8 Juta Ton

Dengan tingkat rata-rata konsumsi beras nasional sebesar 2,54 juta ton per bulan, didapati bahwa Indonesia akan mengalami defisit beras 1,61 juta ton pada Januari 2024 dan 1,22 juta ton pada Februari 2024. Pada 2023, defisit beras pada Januari sebesar 1,2 juta ton, sedangkan pada Februari terjadi surplus 0,31 juta ton. 

Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori, memperkirakan penurunan produksi dan defisit juga berpotensi terjadi pada Maret 2024. "Sepertinya pada Maret nanti juga akan turun dari Maret 2023, kalau mengikuti ekor dampak El Nino yang masih panjang," kata dia. Bahkan, ia memperkirakan produksi beras secara nasional juga menurun sepanjang 2024.  

Menyitir dokumen Badan Pangan Nasional, sebanyak 55 persen produksi beras nasional pada 2022 disumbangkan oleh sawah-sawah di Pulau Jawa. Namun peta prakiraan cuaca menunjukkan curah hujan di Pulau Jawa masih belum maksimal hingga Januari 2024. Keadaan tersebut menyebabkan masa tanam yang optimal akan berada pada Februari 2024.

Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi mengatakan lahan panen mesti melebihi luas 1 juta hektare per bulan agar neraca pangan tidak defisit. Perluasan lahan panen ini tidak bisa optimal dicapai selama petani masih dalam kondisi kekurangan air. "Setelah November dan Desember, utamanya pada Desember, sudah ada hujan di beberapa tempat," katanya.

Arief mengatakan kebijakan impor akan menjadi alternatif terakhir di tengah dinamika produksi dan konsumsi yang bergeser akibat perubahan iklim, fenomena El Nino, serta disrupsi akibat dampak pandemi Covid-19. 

Impor Berlanjut

Pekerja melakukan bongkar-muat beras impor dari Pakistan di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, 22 November 2023. TEMPO/Tony Hartawan

Pada 2023, pemerintah telah mengeluarkan persetujuan impor untuk 3,8 juta ton beras—sebagian adalah limpahan dari 2022. Dari jumlah tersebut, Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) telah berkontrak mendatangkan 3,34 juta ton beras. Sementara yang sudah mencapai tahap realisasi bongkar baru 2,36 juta ton pada 22 November 2023. Untuk tahun depan, pemerintah telah memberikan kuota penugasan kepada Bulog untuk mengimpor 2 juta ton beras.  

Peneliti pangan dari Center of Reform on Economics (Core), Eliza Mardian, berujar hasil KSA BPS menunjukkan terjadinya pergeseran masa panen dari sawah-sawah di Indonesia. Konsekuensinya, defisit kebutuhan beras pun bisa menjadi lebih panjang daripada biasanya karena panen raya mundur dari Maret-April menjadi April-Mei atau bahkan Mei-Juni. 

Walhasil, strategi impor dan bantuan beras pemerintah pun menjadi langkah antisipasi yang ambil. "Tapi ini adalah rencana jangka pendek yang tidak menyelesaikan persoalan defisit pangan sistemis," kata dia. Ke depan, ia berpendapat, pemerintah harus mulai memikirkan solusi atas semakin berkurangnya lahan pertanian hingga semakin banyaknya petani gurem alias petani dengan lahan sempit.  

CAESAR AKBAR | IVANSYAH (CIREBON) | DIDIT HARIYADI (MAKASSAR)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus